KOMPAS.com - Politik Bebas Aktif adalah gagasan yang dicetus oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya bertajuk "Mendayung di antara Dua Karang" pada 2 September 1948.
Makna dari Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif adalah Indonesia dapat mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan hubungan luar negeri dan tidak dikendalikan oleh kepentingan politik dari negara lain.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebijakan luar negeri Indonesia bebas aktif tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama pasal 11 dan pasal 13 ayat 1.
Lalu, pada masa Orde Baru, politik bebas aktif diatur dalam Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966.
Pada dasarnya, politik bebas aktif mengusung sikap anti-imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun.
Aturan ini pun mendapat tanggapan positif dari mayoritas penduduk Indonesia.
Akan tetapi, dukungan itu berubah menjadi aksi protes setelah Menteri Luar Negeri Indonesia (Menlu) tahun 1952, yaitu Mr. Ahmad Subardjo menandatangani persetujuan Mutual Security Act (MSA) secara diam-diam.
MSA adalah bantuan dari Amerika Serikat pada 1951 ke beberapa negara untuk melawan komunisme.
Rupanya, penandatangan MSA memberi dampak tersendiri terhadap kebijakan Politik Bebas Aktif Indonesia.
Lantas, apa hubungan antara penandatanganan MSA dengan kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia?
Baca juga: Latar Belakang Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia
Penandatanganan MSA membawa pengaruh pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang seharusnya tidak berpihak dengan blok mana pun.
Kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini diterapkan selama Kabinet Sukiman masih berjalan (1951-1952).
Akan tetapi, ketika kebijakan politik bebas aktif masih dilaksanakan, Menlu Indonesia, yaitu Mr. Ahmad Subardjo secara diam-diam menandatangani MSA.
Padahal, tujuan dari MSA adalah membantu negara-negara berkembang yang terancam penyebaran komunisme.
Bantuan yang dikirim berupa bantuan militer, ekonomi, dan teknis kepada negara sekutu Amerika Serikat.