Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syahfitri Anita
Peneliti

Peneliti Peneliti BRIN di bidang biokimia, zoologi, herpetofauna dan racun hewan.

Trilogi Toksin Hewan: Bisa Ular, untuk Menyerang Musuh atau Memakan Mangsa?

Kompas.com - 30/04/2024, 16:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagi ular berbisa, mengeluarkan bisa mungkin adalah suatu kemewahan atau mungkin usaha terakhirnya setelah berupaya kabur”.

TULISAN ini adalah yang kedua dalam seri Trilogi toksin hewan. Tulisan ini masih membahas toksin hewan, tetapi lebih khusus membahas bisa ular.

Untuk menjawab pertanyaan yang diutarakan dalam judul artikel ini, mari kita coba telaah dulu mengenai komponen dan dampak bisa ular, serta bagaimana bisa ular berevolusi.

Sebelum membaca artikel ini, ada baiknya pembaca memahami dulu perbedaan racun, toksin, dan bisa. Hal ini dapat dilakukan dengan membaca tulisan saya yang pertama berjudul "Trilogi Toksin Hewan: Perbedaan Racun, Toksin, dan Bisa".

Perjumpaan antara ular dan manusia seringkali berujung tragis dengan kematian di kedua belah pihak.

Ular, baik berbisa maupun tidak, kecil atau besar, bila bertemu manusia, maka akan dianggap berbahaya dan seringkali pilihan teraman bagi manusia adalah dengan membunuhnya.

Ketakutan terhadap ular kemungkinan sudah tertanam dalam genetik manusia, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Headland, antropolog dari Southern Methodist University. Padahal belum tentu ular tersebut akan mengigit atau mengeluarkan bisanya.

Bisa ular merupakan campuran kompleks berbagai molekul-molekul organik dan anorganik, peptida, protein, enzim serta berbagai garam-garam mineral, yang diproduksi pada kelenjar khusus (kelenjar Duvernoy) dan disampaikan pada mangsa atau targetnya melalui suatu sistem penyaluran yang khusus (gigi taring pada ular).

Bisa ular dapat dikatakan sebagai produk inovasi evolusioner yang membuat ular dapat memanfaatkan senyawa kimia untuk melumpuhkan mangsa sekaligus mempertahankan dirinya dalam waktu cepat.

Bisa ular bekerja dengan cepat dan secara efektif dapat menghentikan mangsa yang akan kabur. Karena harus menimbulkan efek mematikan secara cepat, toksin bisa ular biasanya mengandung berbagai racun yang dapat mengganggu sistem saraf, peredaran darah dan otot.

Ketika bisa ular masuk ke dalam korbannya, komponen racun akan berikatan dengan reseptor pada sel-sel saraf, otot, atau darah. Racun ini kemudian akan menganggu jalur komunikasi antar sel.

Gejala yang sering muncul akibat dari bisa ini seperti pembengkakan di sekitar bagian tubuh yang tergigit, pendarahan, kelumpuhan, sesak nafas, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Cara lama dalam mengelompokan efek bisa ular adalah dengan menggolongkannya sebagai yang bersifat neurotoksik (memengaruhi sistem saraf) dan hemotoksik (memengaruhi sistem peredaran darah dan jaringan).

Namun, komposisi bisa ular sebenarnya tidak sesederhana ini. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai racun myotoksin, kardiotoksin, hemotoksin, dan neurotoksin.

Tidak ada bisa ular yang hanya memiliki satu tipe toksin, sehingga kebanyakan bisa ular memiliki kombinasi efek bervariasi. Kombinasi ini yang membuat reaksi terhadap gigitan ular berbeda antar spesies.

Variasi ini juga yang menjadi masalah utama dalam pengobatan korban gigitan ular dan pengembangan serum antibisa.

Komponen protein bisa ular dan dampaknya

Bisa ular-ular kelompok viper, seperti ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dan ular viper hijau (Trimeresurus albolabris), didominasi oleh tiga protein enzimatik, yaitu phospholipase A2 (PLA2), snake venom metalloproteases (SVMP), dan snake venom serine proteases (SVSP).

Beberapa dampak toksik SVMP dan SVSP seperti menyebabkan pendarahan, koagulopati, nekrosis jaringan dan menginduksi aggregasi platelet darah.

Enzim PLA2 merupakan kelompok toksin yang banyak terkandung dalam hampir semua jenis bisa ular.

Menurut WHO, enzim ini dapat merusak mitokondria, sel darah merah, leukosit, trombosit, ujung saraf bebas, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran lainnya yang kemudian dapat mengakibatkan aktivitas neurotoksik, kardiotoksik, myotoksik, nekrosis, hipotensi, hemolisis, hemoragik, kebocoran plasma (edema), efek sedatif, dan pelepasan histamin.

Salah satu komponen toksin yang spesifik menyusun bisa ular kobra adalah protein cobratoxin.

Sekira 10 persen bisa ular kobra tersusun atas toksin ini. Cobratoxin merupakan protein kecil, tersusun oleh 62 asam amino dan bersifat neurotoksik. Efek neurotoksinnya antara lain kelumpuhan dan paralisis respiratorik atau melemahnya otot-otot pernapasan.

Salah satu toksin yang menjadi karakter bisa ular-ular dalam kelompok Elapidae adalah three-finger toxins (3FTX).

Ular-ular Elapidae yang umum ada di sekitar manusia dan menjadi masalah gigitan ular di Indonesia adalah ular kobra, ular welang, dan weling.

Bisa ular-ular ini mengandung protein 3FTX yang dapat menghambat transmisi neuromuskuler, fungsi jantung, dan enzim acethycholinesterase. Efeknya dapat membuat mangsa berhenti bergerak, lumpuh hingga mati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com