Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Trilogi Toksin Hewan: Bisa Ular, untuk Menyerang Musuh atau Memakan Mangsa?

TULISAN ini adalah yang kedua dalam seri Trilogi toksin hewan. Tulisan ini masih membahas toksin hewan, tetapi lebih khusus membahas bisa ular.

Untuk menjawab pertanyaan yang diutarakan dalam judul artikel ini, mari kita coba telaah dulu mengenai komponen dan dampak bisa ular, serta bagaimana bisa ular berevolusi.

Sebelum membaca artikel ini, ada baiknya pembaca memahami dulu perbedaan racun, toksin, dan bisa. Hal ini dapat dilakukan dengan membaca tulisan saya yang pertama berjudul "Trilogi Toksin Hewan: Perbedaan Racun, Toksin, dan Bisa".

Perjumpaan antara ular dan manusia seringkali berujung tragis dengan kematian di kedua belah pihak.

Ular, baik berbisa maupun tidak, kecil atau besar, bila bertemu manusia, maka akan dianggap berbahaya dan seringkali pilihan teraman bagi manusia adalah dengan membunuhnya.

Ketakutan terhadap ular kemungkinan sudah tertanam dalam genetik manusia, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Headland, antropolog dari Southern Methodist University. Padahal belum tentu ular tersebut akan mengigit atau mengeluarkan bisanya.

Bisa ular merupakan campuran kompleks berbagai molekul-molekul organik dan anorganik, peptida, protein, enzim serta berbagai garam-garam mineral, yang diproduksi pada kelenjar khusus (kelenjar Duvernoy) dan disampaikan pada mangsa atau targetnya melalui suatu sistem penyaluran yang khusus (gigi taring pada ular).

Bisa ular dapat dikatakan sebagai produk inovasi evolusioner yang membuat ular dapat memanfaatkan senyawa kimia untuk melumpuhkan mangsa sekaligus mempertahankan dirinya dalam waktu cepat.

Bisa ular bekerja dengan cepat dan secara efektif dapat menghentikan mangsa yang akan kabur. Karena harus menimbulkan efek mematikan secara cepat, toksin bisa ular biasanya mengandung berbagai racun yang dapat mengganggu sistem saraf, peredaran darah dan otot.

Ketika bisa ular masuk ke dalam korbannya, komponen racun akan berikatan dengan reseptor pada sel-sel saraf, otot, atau darah. Racun ini kemudian akan menganggu jalur komunikasi antar sel.

Gejala yang sering muncul akibat dari bisa ini seperti pembengkakan di sekitar bagian tubuh yang tergigit, pendarahan, kelumpuhan, sesak nafas, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Cara lama dalam mengelompokan efek bisa ular adalah dengan menggolongkannya sebagai yang bersifat neurotoksik (memengaruhi sistem saraf) dan hemotoksik (memengaruhi sistem peredaran darah dan jaringan).

Namun, komposisi bisa ular sebenarnya tidak sesederhana ini. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai racun myotoksin, kardiotoksin, hemotoksin, dan neurotoksin.

Tidak ada bisa ular yang hanya memiliki satu tipe toksin, sehingga kebanyakan bisa ular memiliki kombinasi efek bervariasi. Kombinasi ini yang membuat reaksi terhadap gigitan ular berbeda antar spesies.

Variasi ini juga yang menjadi masalah utama dalam pengobatan korban gigitan ular dan pengembangan serum antibisa.

Komponen protein bisa ular dan dampaknya

Bisa ular-ular kelompok viper, seperti ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dan ular viper hijau (Trimeresurus albolabris), didominasi oleh tiga protein enzimatik, yaitu phospholipase A2 (PLA2), snake venom metalloproteases (SVMP), dan snake venom serine proteases (SVSP).

Beberapa dampak toksik SVMP dan SVSP seperti menyebabkan pendarahan, koagulopati, nekrosis jaringan dan menginduksi aggregasi platelet darah.

Enzim PLA2 merupakan kelompok toksin yang banyak terkandung dalam hampir semua jenis bisa ular.

Menurut WHO, enzim ini dapat merusak mitokondria, sel darah merah, leukosit, trombosit, ujung saraf bebas, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran lainnya yang kemudian dapat mengakibatkan aktivitas neurotoksik, kardiotoksik, myotoksik, nekrosis, hipotensi, hemolisis, hemoragik, kebocoran plasma (edema), efek sedatif, dan pelepasan histamin.

Salah satu komponen toksin yang spesifik menyusun bisa ular kobra adalah protein cobratoxin.

Sekira 10 persen bisa ular kobra tersusun atas toksin ini. Cobratoxin merupakan protein kecil, tersusun oleh 62 asam amino dan bersifat neurotoksik. Efek neurotoksinnya antara lain kelumpuhan dan paralisis respiratorik atau melemahnya otot-otot pernapasan.

Salah satu toksin yang menjadi karakter bisa ular-ular dalam kelompok Elapidae adalah three-finger toxins (3FTX).

Ular-ular Elapidae yang umum ada di sekitar manusia dan menjadi masalah gigitan ular di Indonesia adalah ular kobra, ular welang, dan weling.

Bisa ular-ular ini mengandung protein 3FTX yang dapat menghambat transmisi neuromuskuler, fungsi jantung, dan enzim acethycholinesterase. Efeknya dapat membuat mangsa berhenti bergerak, lumpuh hingga mati.

Protein 3FTx juga terkandung dalam bisa ular-ular kelompok Colubridae. Ular Colubridae dikenal sebagai ular bertaring belakang (rear-fanged), misalnya ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan ular cincin-emas (Boiga dendrophila).

Posisi taring pada bagian belakang susunan gigi ular-ular ini membatasi ukuran panjang taring sehingga mempersulit ular untuk menggigit korban secara efektif.

Bisa ular-ular ini biasanya bersifat spesifik untuk mangsa tertentu sehingga tidak terlalu mengancam manusia. Kasus gigitan dari ular dalam kelompok ini juga jarang dilaporkan.

Namun, bisa ular Colubridae juga cukup berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Contohnya, kelompok ular-ular picung, seperti Rhabdophis tigrinus di Jepang dan Rhabdophis subminiatus di Indonesia, yang tercatat pernah mengigit, menyebabkan pendarahan dan menimbulkan kematian.

Komponen protein yang dominan dalam bisa ular Colubridae adalah protein 3FTx dan enzim metalloproteinase.

Dampak akibat gigitan ular-ular dalam kelompok ini cukup bervariasi mulai dari nyeri ringan, edema, eritema, melepuh disertai dengan nyeri sendi hingga nyeri yang cukup parah.

Bagaimana ular menjadi berbisa?

Seperti yang telah sedikit dijelaskan pada awal tulisan ini, ular menggunakan bisa untuk dua tujuan utama.

Pertama untuk mencari makan, racun membantu ular menangkap mangsa dengan cepat sebelum memakannya.

Kedua, bisa membantu ular untuk mempertahankan dirinya dari ancaman predator. Fungsi yang kedua ini menyebabkan jutaan orang digigit dan hampir sekira 100.000 orang terbunuh setiap tahunnya.

Namun, bagaimana dan mengapa berbagai spesies ular dapat memiliki racun? Hal ini membuat para peneliti penasaran, karena ular berbisa berasal dari nenek moyang yang tidak berbisa dan berkerabat dekat dengan kadal, biawak, iguana, dan spesies terkait lainnya.

Bisa ular secara sederhana berkembang dari saliva (air liur) yang termodifikasi menjadi toksik (bersifat racun).

Evolusi bisa ular didorong oleh protein-protein bisa dan sistem fisiologis mangsa ular yang juga ikut berubah (co-evolusi atau dikenal juga sebagai evolutionary arms race).

Penyebabnya diperkirakan akibat mutasi atau duplikasi gen yang diikuti oleh proses seleksi alam sehingga menghasilkan sifat-sifat racun yang lebih adaptif untuk memangsa.

Adaptasi yang dihasilkan dari proses ini menghasilkan protein yang sangat beracun, protein-protein yang dapat mencerna mangsa secara optimum, hingga metode untuk melacak mangsa setelah digigit.

Studi khusus untuk memahami evolusi komponen bisa ular dilakukan terhadap jenis racun three finger toxins (3FTx), oleh Burkhard Rost dkk (2022). Mereka menemukan bahwa toksin ini diproduksi oleh gen Ly6.

Sebenarnya gen ini tidak hanya dimiliki oleh ular berbisa, namun juga terdapat pada mamalia dan reptil lainnya, serta memiliki fungsi umum terkait sistem metabolisme.

Studi sebelumnya memperkirakan bahwa ular dan kadal muncul sekira 120 juta tahun yang lalu. Sedangkan ular berbisa dan tidak berbisa muncul sekira 50 juta tahun lalu dan semuanya sudah memiliki gen Ly6.

Hal ini mengindikasikan bahwa, dalam kurun waktu 50-120 juta tahun lalu, gen Ly6 telah banyak bermutasi. Akibat mutasi ini, pada ular berbisa, fungsi protein yang dikode oleh gen ini berubah drastis dari fungsi metabolik biasa menjadi bersifat toksik.

Schendel dkk (2019) melakukan studi yang menarik dan menunjukkan bagaimana bisa hewan dapat digunakan sebagai model dalam biologi evolusioner untuk memahami perkembangan sifat-sifat adaptif dan fungsi protein.

Studinya menunjukkan bahwa sistem bisa hewan telah berevolusi secara independen lebih dari 100 kali pada beragam spesies hewan.

Pada masing-masing garis keturunan, molekul toksin (yang umumnya terdiri dari peptida dan protein) berkembang dari molekul yang awalnya bersifat non-toxin.

Namun, apa yang mendorong perubahan molekul non-toksin ini menjadi molekul yang bersifat toksin? Apakah untuk mempertahankan diri dari predator?

Ward-smith dkk (2020) melakukan penelitian yang menarik untuk mengetahui apakah mempertahankan diri menjadi faktor pendorong evolusi bisa ular.

Mereka berhipotesis bahwa untuk memberikan pertahanan yang efisien dari predator, racun ular harus memberikan rasa sakit yang luar biasa untuk menghalangi upaya predator, dan memungkinkan ular melarikan diri.

Para peneliti melakukan survei rasa sakit pada korban gigitan ular dan analisis filogenetik terhadap jenis ular.

Hasil studinya mengungkapkan bahwa hanya sedikit gigitan ular berbisa yang langsung menimbulkan rasa sakit yang cepat dan parah, menyiratkan bahwa susunan racun tersebut tidak berevolusi untuk tujuan utama pertahanan.

Selain itu, analisis evolusi ular menunjukkan bahwa fitur rasa sakit yang disebabkan spesies ular tertentu, dapat hilang pada garis keturunan berikutnya. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa bisa ular tidak berevolusi untuk tujuan pertahanan diri ular.

Tinjauan mengenai evolusi bisa ular Elapidae Australia yang menarik ditulis oleh Jackson dkk (2016). Mereka menuliskan bagaimana komposisi bisa ular dapat bervariasi sepanjang fase hidup ular tersebut, misalnya saat remaja dan dewasa.

Ular saat tubuhnya masih kecil tentu akan memakan mangsa yang berukuran lebih kecil dari tubuhnya, misalnya, seperti kadal-kadal berukuran kecil.

Ketika dewasa, pola makan ular dapat menjadi lebih umum yang dapat memakan beragam tipe dan ukuran mangsa.

Pola makan yang berubah ini dapat mendorong perubahan komposisi racun bisa ular karena sistem fisiologis mangsa yang juga berubah, sehingga diperlukan racun yang sesuai untuk mencernanya. Hal ini menyiratkan bahwa faktor tipe mangsa sangatlah menentukan komposisi bisa ular.

Berbagai bukti yang ada saat ini menyiratkan bahwa faktor utama pendorong kemunculan atau evolusi bisa ular adalah makanan.

Pada ular berbisa, komposisi bisa muncul dan berkembang sebagai hasil seleksi alam untuk mendapatkan sumber makanan lokal yang tersedia di habitatnya secara optimum.

Hal ini umumnya didasarkan pada tingkat toksisitas racun yang tinggi terhadap jenis mangsa, dibandingkan untuk spesies yang bukan mangsanya.

Selain itu, terdapat juga toksin-toksin pada bisa ular yang spesifik untuk mangsa tertentu. Studi yang dilakukan Davies dan Arbuckle (2019) menunjukkan bahwa tingkat toksisitas bisa ular sangat dipengaruhi oleh meningkatnya diversitas mangsa.

Oleh karena itu, para peneliti meyakini bahwa bisa ular berevolusi dengan tujuan membunuh atau menaklukan mangsa, dan juga untuk fungsi-fungsi lain yang terkait dengan akuisisi makanan.

Meskipun ular menggunakan bisa untuk pertahanan dirinya, fungsi ini bukanlah tujuan utama kemunculan dan berkembangnya bisa pada berbagai spesies ular.

Berbahaya, tapi memiliki potensi luar biasa

Bila dihitung dari nilai ekonominya, bisa ular adalah salah satu cairan termahal yang hampir menyaingi nilai minyak bumi. Hal ini karena molekul toksin bisa ular memiliki potensi pemanfaatan yang luar biasa.

Bisa ular telah digunakan dalam pengembangan obat-obatan, kosmetik, alat diagnostik, dan berbagai bidang kesehatan lainnya.

Contohnya obat-obatan dengan merk dagang captopril, enalapril, tirofiban, eptifibatide, batroxobin, dan cobratide.

Obat-obat ini dihasilkan dari komponen bisa ular yang dimurnikan secara langsung maupun diproduksi secara sintetik. Obat-obat ini umumnya digunakan untuk mengatasi penyakit terkait darah dan jantung seperti hipertensi atau gagal jantung.

Meskipun bisa ular berbahaya dan dapat mengancam manusia, namun berbagai bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahwa menyerang manusia bukanlah tujuan utama ular memiliki bisa.

Secara sederhana, bisa ular muncul dan berkembang akibat kebutuhan ular untuk mendapatkan makanan di habitatnya.

Kalau tujuan utama bisa ular bukan untuk pertahanan diri, lalu adakah sistem kimiawi lainnya yang digunakan ular untuk mempertahankan dirinya?

Ya, terdapat bentuk pertahanan kimiawi ular yang unik dan hanya dimiliki oleh beberapa spesies ular di Asia.

Hal ini akan kita bahas pada tulisan berikutnya yang merupakan bagian terakhir dari topik trilogi toksin hewan.

Bersambung, baca artikel selanjutnya: Trilogi Toksin Hewan: Ular yang Berbisa dan Beracun

https://www.kompas.com/sains/read/2024/04/30/163849823/trilogi-toksin-hewan-bisa-ular-untuk-menyerang-musuh-atau-memakan-mangsa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke