Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syahfitri Anita
Peneliti

Peneliti Peneliti BRIN di bidang biokimia, zoologi, herpetofauna dan racun hewan.

Trilogi Toksin Hewan: Bisa Ular, untuk Menyerang Musuh atau Memakan Mangsa?

Kompas.com - 30/04/2024, 16:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Protein 3FTx juga terkandung dalam bisa ular-ular kelompok Colubridae. Ular Colubridae dikenal sebagai ular bertaring belakang (rear-fanged), misalnya ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan ular cincin-emas (Boiga dendrophila).

Posisi taring pada bagian belakang susunan gigi ular-ular ini membatasi ukuran panjang taring sehingga mempersulit ular untuk menggigit korban secara efektif.

Bisa ular-ular ini biasanya bersifat spesifik untuk mangsa tertentu sehingga tidak terlalu mengancam manusia. Kasus gigitan dari ular dalam kelompok ini juga jarang dilaporkan.

Namun, bisa ular Colubridae juga cukup berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Contohnya, kelompok ular-ular picung, seperti Rhabdophis tigrinus di Jepang dan Rhabdophis subminiatus di Indonesia, yang tercatat pernah mengigit, menyebabkan pendarahan dan menimbulkan kematian.

Komponen protein yang dominan dalam bisa ular Colubridae adalah protein 3FTx dan enzim metalloproteinase.

Dampak akibat gigitan ular-ular dalam kelompok ini cukup bervariasi mulai dari nyeri ringan, edema, eritema, melepuh disertai dengan nyeri sendi hingga nyeri yang cukup parah.

Bagaimana ular menjadi berbisa?

Seperti yang telah sedikit dijelaskan pada awal tulisan ini, ular menggunakan bisa untuk dua tujuan utama.

Pertama untuk mencari makan, racun membantu ular menangkap mangsa dengan cepat sebelum memakannya.

Kedua, bisa membantu ular untuk mempertahankan dirinya dari ancaman predator. Fungsi yang kedua ini menyebabkan jutaan orang digigit dan hampir sekira 100.000 orang terbunuh setiap tahunnya.

Namun, bagaimana dan mengapa berbagai spesies ular dapat memiliki racun? Hal ini membuat para peneliti penasaran, karena ular berbisa berasal dari nenek moyang yang tidak berbisa dan berkerabat dekat dengan kadal, biawak, iguana, dan spesies terkait lainnya.

Bisa ular secara sederhana berkembang dari saliva (air liur) yang termodifikasi menjadi toksik (bersifat racun).

Evolusi bisa ular didorong oleh protein-protein bisa dan sistem fisiologis mangsa ular yang juga ikut berubah (co-evolusi atau dikenal juga sebagai evolutionary arms race).

Penyebabnya diperkirakan akibat mutasi atau duplikasi gen yang diikuti oleh proses seleksi alam sehingga menghasilkan sifat-sifat racun yang lebih adaptif untuk memangsa.

Adaptasi yang dihasilkan dari proses ini menghasilkan protein yang sangat beracun, protein-protein yang dapat mencerna mangsa secara optimum, hingga metode untuk melacak mangsa setelah digigit.

Studi khusus untuk memahami evolusi komponen bisa ular dilakukan terhadap jenis racun three finger toxins (3FTx), oleh Burkhard Rost dkk (2022). Mereka menemukan bahwa toksin ini diproduksi oleh gen Ly6.

Sebenarnya gen ini tidak hanya dimiliki oleh ular berbisa, namun juga terdapat pada mamalia dan reptil lainnya, serta memiliki fungsi umum terkait sistem metabolisme.

Studi sebelumnya memperkirakan bahwa ular dan kadal muncul sekira 120 juta tahun yang lalu. Sedangkan ular berbisa dan tidak berbisa muncul sekira 50 juta tahun lalu dan semuanya sudah memiliki gen Ly6.

Hal ini mengindikasikan bahwa, dalam kurun waktu 50-120 juta tahun lalu, gen Ly6 telah banyak bermutasi. Akibat mutasi ini, pada ular berbisa, fungsi protein yang dikode oleh gen ini berubah drastis dari fungsi metabolik biasa menjadi bersifat toksik.

Schendel dkk (2019) melakukan studi yang menarik dan menunjukkan bagaimana bisa hewan dapat digunakan sebagai model dalam biologi evolusioner untuk memahami perkembangan sifat-sifat adaptif dan fungsi protein.

Studinya menunjukkan bahwa sistem bisa hewan telah berevolusi secara independen lebih dari 100 kali pada beragam spesies hewan.

Pada masing-masing garis keturunan, molekul toksin (yang umumnya terdiri dari peptida dan protein) berkembang dari molekul yang awalnya bersifat non-toxin.

Namun, apa yang mendorong perubahan molekul non-toksin ini menjadi molekul yang bersifat toksin? Apakah untuk mempertahankan diri dari predator?

Ward-smith dkk (2020) melakukan penelitian yang menarik untuk mengetahui apakah mempertahankan diri menjadi faktor pendorong evolusi bisa ular.

Mereka berhipotesis bahwa untuk memberikan pertahanan yang efisien dari predator, racun ular harus memberikan rasa sakit yang luar biasa untuk menghalangi upaya predator, dan memungkinkan ular melarikan diri.

Para peneliti melakukan survei rasa sakit pada korban gigitan ular dan analisis filogenetik terhadap jenis ular.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com