Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Perubahan Iklim, Hama Belalang Jadi Lebih Sering Rusak Tanaman

Kompas.com - 20/02/2024, 11:36 WIB
Monika Novena,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perubahan iklim membawa berbagai konsekuensi bagi planet ini.

Sebuah penelitian menunjukkan hujan lebat dan angin yang terkait dengan perubahan iklim memicu hama belalang menjadi lebih umum terjadi dan tersebar luas di wilayah-wilayah penting di dunia.

Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Keamanan Pangan di Masa Depan

Studi baru ini menyebut jumlah belalang yang rakus dan pemakan tanaman tersebut bisa bertambah hingga 25 persen karena perubahan iklim.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science Advances ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan hubungan kuat antara kawanan belalang berskala besar dan pola cuaca tertentu.

Hama belalang

Mengutip Live Science, Senin (19/2/2024) skala dari kawanan belalang ini sungguh mencengangkan.

Satu kawanan terdiri puluhan juta serangga di bisa tersebar di wilayah seluas 2.400 kilometer persegi.

Hama ini menurut peneliti bisa terjadi terutama di Afrika Utara, sebagian Timur Tengah, dan Asia serta dapat menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian.

Sumber pangan yang cukup untuk memberi makan 35.000 orang pun berpotensi hilang.

Memahami pemicu kejadian-kejadian itu pun dapat membantu petani memprediksi dan menghindari bencana. Namun para peneliti masih kesulitan untuk menentukan penyebab pastinya.

Untuk mengidentifikasinya, peneliti meninjau data besar dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Baca juga: Pentingnya Padang Rumput dalam Pengendalian Perubahan Iklim

Data tersebut melacak jumlah wabah belalang di 36 negara dan periode 35 tahun antara tahun 1985 dan 2020.

Tim peneliti lalu menggabungkan informasi ini dengan data meteorologi mengenai indikator seperti suhu, kecepatan angin, dan curah hujan.

Mereka menemukan hubungan kuat antara keberadaan belalang dan kondisi iklim.

"Secara khusus, data meteorologi menunjukkan bahwa wabah belalang sering menyerang lebih dari satu negara pada saat yang bersamaan dan cenderung terjadi bersamaan dengan periode curah hujan dan angin regional yang intens," ungkap Xinyue Li, kandidat doktor di Universitas Nasional Singapura dan penulis utama studi.

Salah satu teori menyatakan bahwa telur belalang yang diletakkan secara massal di dalam tanah memerlukan tingkat kelembapan yang tinggi untuk berkembang dan menetas.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com