Oleh: dr. Eddy Wiria, Ph.D
CONTINUITY of care dan patient safety bukanlah istilah baru dalam dunia medis. Pada tahun ini, WHO mengambil tema “Engaging Patients for Patient Safety”.
Apa artinya? Dalam hal ini tenaga medis atau provider layanan kesehatan seperti dokter, perawat dan rumah sakit, perlu melibatkan pasien untuk merencanakan kebutuhan kesehatannya.
Baca juga: WHO Peringatkan Kemungkinan Lonjakan Penyakit Kronis pada 2030
Tujuannya adalah selain peningkatan keselamatan pasien sendiri, juga agar kualitas dan kepuasan hidup pasien lebih baik.
Dalam kesempatan kali ini saya ingin mengajak teman-teman di dunia kesehatan, serta masyarakat luas dan pemerintah menengok juga perihal continuity of care atau layanan kesehatan berkesinambungan.
Kenapa? Karena keselamatan pasien dan juga kualitas hidupnya tidak hanya tergantung dari pelayanan akut atau saat kondisi darurat.
Perawatan di rumah paska rawat inap di rumah sakit, misalnya, tidak kurang pentingnya untuk mencegah pasien kembali dirawat dalam waktu dekat.
Wiig et al di BMJ Open 2018 menyampaikan bahwa adanya peningkatan masalah kesehatan karena usia harapan hidup warga (Uni Eropa) yang semakin tinggi.
Ini berakibat adanya peningkatan jumlah warga yang juga dapat memiliki sakit kronis di rumah, namun tidak perlu dirawat di rumah sakit dan bisa dicegah untuk kembali dirawat.
Contoh kasus, seseorang yang mengalami serangan stroke perlu segera dibawa ke rumah sakit untuk menangani kegawatdaruratannya; untuk menyelamatkan nyawanya; dan untuk mencegah kemungkinan yang lebih parah akan kondisi kesehatan dan fungsinya.
Setelah kondisinya stabil, pasien tersebut boleh pulang ke rumah. Lumrahnya, pasien akan dipersiapkan pulang, dijadwalkan untuk kontrol dan evaluasi akan dilakukan setiap kontrol.
Kenyataannya, tidak mudah untuk melakukan itu semua.
Baca juga: WHO Akan Ganti Nama Penyakit Cacar Monyet untuk Hindari Stigmatisasi dan Diskriminasi
Paska stroke, sudah diketahui oleh orang awam sekalipun, pasien akan mengalami gangguan fungsi dengan variasi yang luas, dari yang paling ringan, hingga berat.
Misalnya kesulitan berbicara, makan, berpakaian, berjalan, hingga gangguan kecerdasan atau kognisi dan juga depresi, serta risiko dari demensia vaskuler.
Belum lagi bila pasien masih memerlukan alat bantu seperti selang makan, kateter atau mengalami komplikasi luka dekubitus selama perawatan di rumah sakit akibat tirah baring yang lama.
Pasien yang perlu teratur menjalani fisioterapi, juga terhambat karena kesulitan mobilisasi atau tidak ada anggota keluarga yang dapat menemani ke rumah sakit.
Contoh kedua, bilamana seseorang menderita kanker dan perlu berobat kanker, apapun itu, misalnya operasi, kemoterapi, radioterapi, imunoterapi atau kombinasinya.
Kita semua tahu bahwa kanker adalah penyakit yang berat, dan pengobatan kanker juga memberikan efek samping yang tidak menyenangkan.
Walaupun pada kondisi tertentu efek tersebut sementara, dan pemulihannya bisa sangat baik, namun ada masa-masa pasien bisa mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari, termasuk gangguan makan, berjalan dan ada penurunan kekebalan tubuh.
Walaupun tidak semua pasien kanker memerlukan rawat inap di rumah sakit dan cukup melakukan rawat jalan atau day treatment dengan tujuan mencegah infeksi nosokomial dan biaya perawatan yang tinggi di rumah sakit; hal ini juga tidak mudah dilakukan.
Baca juga: WHO Rekomendasikan Cabotegravir, Obat untuk Mencegah HIV pada Kelompok Rentan