Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Ungkap AI Bisa Timbulkan Miskonsepsi yang Berbahaya

Kompas.com - 16/08/2023, 19:00 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

Sumber PHYSORG


KOMPAS.com - Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang semakin marak digunakan dalam berbagai bidang, menurut studi baru dapat menimbulkan miskonsepsi yang berbahaya.

Miskonsepsi AI tersebut, menurut Stefan Popenici, pakar terkemuka dari Charles Darwin University (CDU) yang dilansir dari Phys, Rabu (16/8/2023), menjelaskan bahwa AI bersifat diskriminatif dan ini rentan terhadap bias rasial dan seksis.

Selain itu, ia memperingatkan, penggunaan kecerdasan buatan yang tidak tepat dapat membawa pendidikan ke dalam krisis global.

Masyarakat didesak untuk dapat memanfaatkan AI dengan bijaksana dan lebih dari sekadar hype AI.

Tak hanya itu, studi ini juga menyarankan agar masyarakat juga dapat menganalisis risiko yang terkait dengan adopsi teknologi dalam pendidikan setelah kecerdasan buatan menginvasi dan menjajah imajinasi publik di seluruh dunia pada akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023.

Baca juga: Studi Ungkap Aroma Wangi Saat Tidur Bisa Mencegah Demensia

Mitos berbahaya tentang AI

Popenici membahas dua mitos paling berbahaya tentang AI dalam pendidikan. Di antaranya tentang keyakinan bahwa kecerdasan buatan bersifat objektif, faktual, dan tidak bias.

Padahal kenyataannya, AI terkait langsung dengan nilai, kepercayaan, dan bias tertentu.

Mitos kedua, yakni tentang keyakinan bahwa AI tidak mendiskriminasi. Padahal pada dasarnya, kecerdasan buatan diskriminatif yang merujuk pada kurangnya keragaman gender di bidang yang sedang berkembang ini.

"Jika kita berpikir tentang bagaimana teknologi benar-benar beroperasi, kita menyadari bahwa tidak ada satu titik pun dalam sejarah umat manusia ketika teknologi tidak secara langsung terkait dengan budaya dan nilai-nilai tertentu, kepercayaan dan bias, keyakinan agama atau sikap gender," ungkap Popenici.

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa ada penelitian dan buku-buku yang konsisten memberikan contoh-contoh algoritma AI yang mendiskriminasi dan secara aneh memperkuat ketidaksetaraan, menargetkan dan mengorbankan mereka yang paling rentan.

Dalam studi ini, Popenici menyoroti tentang bagaimana perbedaan prioritas antara perkembangan pendidikan tinggi dan 'Big Tech', dengan tidak adanya pemikiran kritis yang mencolok dan berbahaya mengenai otomatisasi dalam pendidikan, terutama dalam hal AI.

Baca juga: Studi Ungkap Buaya Bisa Bergerak Cepat karena Tangisan Bayi

 

Kurangnya kesadaran terhadap AI dalam dunia pendidikan berdampak pada penggunaan data siswa. Dampak lainnya terhadap privasi, serta kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan kreatif.

Sementara 'Big Tech' dalam hal ini perusahaan dominan dalam industri teknologi informasi, didorong oleh tujuan untuk mendapatkan keuntungan dan kekuasaan, kontrol dan keuntungan finansial.

Popenici menambahkan institusi pendidikan dan guru memiliki tujuan yang sangat berbeda, yakni memajukan pengetahuan dan membina warga negara yang terdidik, bertanggung jawab, dan aktif yang mampu menjalani kehidupan yang seimbang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

"Menyesatkan dan berbahaya untuk dipercaya bahwa kecerdasan buatan itu, cerdas. Tidak ada kreativitas, tidak ada pemikiran kritis, tidak ada kedalaman atau kebijaksanaan dalam apa yang diberikan oleh AI generatif kepada pengguna setelah diberi perintah," jelas Popenici.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kecerdasan, sebagai sifat manusia, adalah istilah yang menggambarkan serangkaian keterampilan dan kemampuan yang sangat berbeda.

Kecerdasan dalam hal ini, jauh lebih kompleks dan lebih sulit untuk dipisahkan, dilabeli, diukur mau pun dimanipulasi dibandingkan sistem komputasi apa pun yang terkait dengan label pemasaran AI.

Studi bertajuk 'The critique of AI as a foundation for judicious use in higher education', yakni kritik terhadap penggunaan kecerdasan buatan di bidang pendidikan ini telah diterbitkan dalam Journal of Applied Learning & Teaching.

Baca juga: Studi Ungkap Gajah Makan Makanan yang Bervariasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com