Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Stres Menyebabkan Rambut Rontok? Studi Baru Bisa Jadi Petunjuk

Kompas.com - 02/04/2021, 18:35 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com - Stres telah diketahui sebagai pemicu rambut rontok. Namun, bagaimana mekanismenya telah lama menjadi misteri di kalangan para peneliti. Kini, sebuah studi baru yang dilakukan pada tikus mulai menguaknya.

Dilansir dari Live Science, Rabu (31/3/2021); hormon stres ditemukan bisa membuat folikel rambut mengalami fase istirahat yang lebih lama.

Padahal, berada pada fase istirahat yang lebih lama tidak hanya membuat pertumbuhan rambut berhenti, tetapi pada manusia, juga diketahui bisa membuat rambut lebih mudah rontok.

Tim peneliti menemukan hal ini setelah melakukan serangkaian eksperimen pada tikus.

Baca juga: Halo Prof! Mengapa Rambut Selalu Rontok Ketika Disisir?

Pertama-tama, mereka menghentikan produksi hormon stres pada tikus dengan mengangkat kelenjar andrenalnya.

Setelah diangkat, folikel rambut tikus modifikasi didapati memasuki fase pertumbuhan tiga kali lebih cepat dibanding tikus biasa. Fase istirahat folikel juga menjadi tiga kali lebih pendek.

Sebaliknya, tim peneliti menemukan bahwa memberi makan tikus yang dimodifikasi, hormon kortikosteron (mirip hormon stres kortisol pada manusia) bisa membuat siklus folikel rambut mereka kembali seperti tikus normal.

Menindaklanjuti temuan ini, tim peneliti kemudian melakukan pengujian terhadap tikus normal dengan membuatnya stres selama sembilan minggu.

Mereka mendapati bahwa bersamaan dengan meningkatnya hormon kortikosteron pada tikus, pertumbuhan bulu turut terganggu.

Baca juga: 6 Cara Menumbuhkan Rambut dengan Cepat

Rupanya, hormon kortikosteron menyumbat reseptor pada sel yang berada di bawah folikel dan berfungsi melepaskan zat-zat kimia yang mengatur siklus rambut.

Ketika tersumbat, produksi protein GAS6 menjadi terganggu dan sel punca folikel rambut tidak bisa menumbuhkan rambut.

Penulis utama studi, Ya-Chieh Hsu dari Harvard University, mengatakan, jadi daripada mengatur sel punca secara langsung, stres kronis memengaruhi ekspresi sel punca dalam mengaktifkan sinyal.

Melihat hasil ini, Hsu dan timnya pun menduga bahwa mekanisme yang sama mungkin juga bisa terjadi pada manusia. Pasalnya, kortikosteron pada tikus dan kortisol pada manusia bereaksi dengan reseptor yang sama. Namun, dugaan ini perlu dibuktikan dengan penelitian pada manusia.

Di saat yang sama, penelitian Hsu dan tim memunculkan harapan bahwa produksi GAS6 mungkin bisa dimanipulasi untuk menjadi solusi kebotakan pada manusia.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Nature.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com