JAKARTA, KOMPAS.com – Di tengah pandemi yang masih melanda hingga ketidakstabilan kondisi ekonomi, pemerintah justru semakin mantap meneruskan proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara.
Hal ini ditandai dengan penetapan titik nol Ibu Kota Nusantara (IKN), percepatan pembangunan infrastruktur dan proses pembebasan lahan yang akan menjadi lokasi berdirinya Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).
Namun, sejumlah permasalahan khususnya terkait urgensi pemindahan ibu kota yang terkesan tergesa-gesa ini bermunculan.
Baca juga: Desain Istana Negara IKN Dinilai Hanya Cocok Jadi Museum Burung
Pasalnya, pemerintah juga telah menargetkan seluruh infrastruktur inti IKN telah rampung dan siap digunakan pada tahun 2024.
Menanggapi hal ini, Associate Professor Program Sosiologi di Nanyang Technological University Sulfikar Amir mengatakan, sejatinya ada tiga masalah fundamental yang harus dikupas dan dikritisi terkait pemindahan ibu kota.
Pertama adalah tentang rasionalitas pemindahan ibu kota atas alasan untuk mengurangi kesenjangan dan ketimpangan antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Hal ini telah tertuang dalam Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
“Tapi argumen ini tidak ada landasan empirisnya karena kita tidak melihat adanya suatu model atau contoh rencana yang lebih luas,” jelas Sulfikar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/6/2022).
Menurutnya, masalah kesenjangan dan ketimpangan ini tidak bisa selesai hanya dengan memindahkan ibu kota yang diharapkan bisa membawa sektor-sektor ekonomi ke luar Pulau Jawa.
Selain itu, yang harus dipikirkan adalah rasionalitas tentang Jakarta yang akan tenggelam. Muncul anggapan demi mengurangi beban Jakarta, pemerintahan pusat harus segera dipindahkan.
Baca juga: Pemindahan IKN di Tengah Pandemi, Hajat Publik atau Ambisi Politisi?
Padahal, adanya pemerintahan pusat di Jakarta hanya berkontribusi sekitar 7 persen terhadap seluruh masalah yang ada di sini.
“Artinya kalau pemerintahan pusat dipindahkan, tetap saja masalahnya akan terus berlangsung. Maka dari itu Jakarta harus diselamatkan terlebih dahulu daripada harus melarikan diri dari masalah,” tambah Sulfikar.
Masalah fundamental kedua adalah soal proses pemindahan ibu kota yang bisa dibilang “ngebut”. Jelas Sulfikar, proses mampu menentukan kualitas luaran.
Perancangan dan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara hanya memakan waktu 42 hari.
Jika melihat proses penyusunan naskah akademik dan perencanaan lainnya, pemindahan ibu kota memiliki risiko kegagalan yang tinggi.