Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Bob Marley Menjadi Ikon HAM

Kompas.com - 17/02/2024, 18:00 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Silke Wuensch/DW Indonesia

KOELN, KOMPAS.com - Ketika dia berdiri di atas panggung arena olahraga, Sporthalle, di Koeln, Jerman, di musim panas 1980, Bob Marley sudah dalam kondisi sakit-sakitan, tetapi pesona dan aksinya di atas panggung tetap mampu menyihir sekitar 8.000 penonton.

Setahun setelah konser ikonik di Jerman itu, pria bernama asli Robert Nesta Marley itu meninggal dunia, tepatnya pada 11 Mei 1981. Hidupnya berlangsung singkat, hanya 36 tahun. Tapi pesan-pesan politik dan spiritualnya tetap hidup melalui serangkaian lagu yang akan terus melegenda.

Lewat sentuhan Bob Marley pula, Reggae menjadi sedemikian populer di panggung musik dunia, sampai mendapat pengakuan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO.

Baca juga: Mengenang 41 Tahun Kematian Bob Marley dan Warisan Abadi Reggae

Kingsley Ben-Adir sebagai Bob Marley dalam film biografi One Love.CHIABELLA JAMES via DW INDONESIA Kingsley Ben-Adir sebagai Bob Marley dalam film biografi One Love.
Rastafari aliran keyakinan termuda

Lirik karangan Bob Marley banyak mengandung retorika religi, yang membalut isu sosial seperti diskriminasi minoritas, perbudakan, atau ketidakadilan. Keyakinannya sebagai penganut Rastafari membias dari hampir setiap lagunya.

Rastafari adalah agama termuda di dunia yang muncul di Jamaika pada hari pelantikan Haile Selassie sebagai Kaisar Ethiopia, yakni pada 2 November 1930. Nama Rastafari diambil dari nama asli Kaisar Selassie. Dia diyakini sebagai perwujudan Imam Mahdi.

Penganut Rastafari meyakini akan datangnya hari kepulangan bagi keturunan budak Afrika ke negeri yang dijanjikan, Ethiopia. Kebanyakan warga kulit hitam Jamaika adalah keturunan budak Afrika. Rastafari menjadi jalan menyambung kembali pertalian kultural yang putus akibat kolonialisme.

Penganut Rastafari meyakini kehidupan yang alami, dalam prinsip cinta dan perdamaian, kesatuan dan keadilan.

Dikenal di penjuru dunia

Rastafari menolak setiap bentuk penindasan politik, kultural atau religius. Keyakinan ini kini dianut oleh hingga satu juta orang di seluruh dunia, terlepas dari ras dan warna kulit.

Kaum rasta biasanya merayakan keyakinannya dengan mengenakan tampilan dreadlocks pada rambutnya. Gaya rambut ini kali pertama dipopulerkan kaum ksatria Suku Mau-Mau, yang memerangi tentara kolonial Inggris di Kenya pada dekade 1950-an.

Musik rastafari sendiri lahir pada dekade 1960-an di Jamaika, di masa ketika kerusuhan sosial dan kelompok kriminal menguasai jalan-jalan kota.

Sekelompok Disc-Jockey lalu mencoba merebut kembali jalanan dengan melakukan parade musik, dengan lagu santai bertemakan perdamaian yang digubah dengan inspirasi aliran musik lain, seperti ska, soul, atau jaz.

Baca juga: Di Markas Dewan HAM PBB, Indonesia Tegaskan Dukungan untuk Palestina

Pahlawan kemerdekaan Afrika

Lagi Get Up Stand Up diciptakan setelah Bob Marley berkunjung ke Haiti dan menyaksikan kemiskinan ekstrem di bawah kediktatoran Francois "Papa Doc" Duvalier, yang berkuasa antara 1957 hingga 1986. Liriknya mengajak masyarakat memperjuangkan hak asasi sendiri.

Adapun Exodus menyuarakan luapan harapan bagi kaum rasta untuk kembali ke Afrika. Dalam lagu berjudul Zimbabwe, Bob Marley mengajak warga Afrika membebaskan negeri dari kolonialisme Inggris.

Dia pernah menyanyikan lagu itu dalam konser menyambut kemerdekaan pertama tahun 1980 di Harare. Sejak itu, Zimbabwe menjadi lagu kebangsaan tidak resmi.

Salah satu lagunya yang acap disalahartikan adalah No Women No Cry, karena sering dianggap untuk pria yang putus cinta. Sebaliknya, Bob menulis lagu tersebut setelah mendengar seorang tetangga perempuannya menangis di halaman belakang rumahnya.

Lagu itu mengisahkan kehidupan di Jamaika yang marak kemiskinan dan ikatan keluarga yang kuat.

Warisan paling berkesan dari Bob Marley antara lain muncul dalam lagu Redemption Song, yang mengandung kutipan pemuka kaum rasta, Marcus Garvey, dalam sebuah pidato tahun 1937, "emansipasikan dirimu dari perbudakan mental, hanya diri kita yang bisa membebaskan pikiran kita sendiri."

Baca juga: Indonesia Calonkan Diri sebagai Anggota Dewan HAM PBB 2024-2026

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Bagaimana Bob Marley Menjadi Ikon Hak Asasi Manusia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com