Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyoal Idealitas Proposal Prabowo untuk Perdamaian Rusia-Ukraina

Kompas.com - 12/06/2023, 09:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menawarkan proposal perdamaian perang Rusia-Ukraina di salah satu acara dialog forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 20th Asia Security Summit di Singapura pada Sabtu, 3 Juni 2023.

Namun jika ditelisik lebih mendalam, sebenarnya yang ditawarkan Prabowo bukanlah paket komplit perdamaian yang biasanya mencakup insentif dan aturan main, tapi hanya berupa langkah umum tercapainya perdamaian dalam konflik bersenjata.

Lima langkah tersebut adalah gencatan senjata, keharusan pasukan Rusia dan Ukraina mundur 15 kilometer, membentuk zona demiliterisasi yang diawasi PBB, mengirim pasukan pemantau, dan penyelenggaraan referendum.

Masalahnya, prasyarat untuk menggapai gencatan senjata sama sekali belum terbentuk, sehingga langkah pertama dari lima langkah yang ditawarkan masih jauh dari tercapai.

Jadi Prabowo berangkat dari asumsi kosong dengan menafikan segala perbedaan yang menyebabkan terjadinya peperangan selama ini.

Suatu ketika, Albert Einstein pernah mengatakan bahwa "Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understanding".

Nah, pada persoalan "understanding" itulah persoalan perang Rusia-Ukraina berperkara. Kedua pihak masih memegang pemahaman yang berbeda atas konflik bersenjata yang terjadi, sehingga jalan menuju gencatan senjata nyaris sulit untuk dicapai.

Ukraina dan Blok Barat memiliki pemahaman yang berbeda dengan Rusia dan beberapa negara yang mendukung Rusia.

Sebagaimana sering kita dengar bahwa negosiasi tidak akan terjadi jika Rusia tidak mundur ke perbatasan sebelum perang dimulai.

Bahkan lantaran Rusia masuk ke teritori Ukraina awal 2022 lalu, aspirasi di Ukraina dan Eropa justru berkembang lebih luas, yakni prasyarat negosiasi hanya jika Rusia kembali ke batas wilayah yang disepakati tahun 1991.

Artinya, akan termasuk Crimea, yang notabene tidak akan pernah dilepas sejengkal pun oleh Putin.

Di sisi lain, bagi Rusia dan kelompok yang di-back up-nya, setelah beberapa wilayah didapat dan dideklarasikan merdeka dari Ukraina, opsi negosiasi berpeluang dibuka. Jelas Barat tidak menerima.

Sementara di sisi lain, opsi kalah tak ada, atau hingga hari ini belum ada, di dalam kamus geopolitik Vladimir Putin. Jika mundur ke perbatasan awal, atau kehilangan Crimea, Putin akan dimaknai kalah dan kemungkinan besar ia bisa tamat secara politik di dalam negerinya.

Rekaman video baru Bakhmut yang diambil dari udara dengan drone untuk Associated Press menunjukkan pertempuran terpanjang dari invasi Rusia selama setahun telah mengubah Kota Bakhmut, tambang garam dan gipsum di Ukraina timur, menjadi kota hantu. Rekaman itu diambil pada 13 Februari 2023. Dari atas, skala kehancuran jelas terlihat. AP PHOTO Rekaman video baru Bakhmut yang diambil dari udara dengan drone untuk Associated Press menunjukkan pertempuran terpanjang dari invasi Rusia selama setahun telah mengubah Kota Bakhmut, tambang garam dan gipsum di Ukraina timur, menjadi kota hantu. Rekaman itu diambil pada 13 Februari 2023. Dari atas, skala kehancuran jelas terlihat.
Konsistensi Blok Barat bukan tanpa kelemahan. Pertama, Dunia Barat tidak bisa selamanya mengorbankan rakyat Ukraina untuk berhadapan dengan negara yang penduduknya jauh lebih banyak dibanding penduduk Ukraina, meskipun puluhan ribu pemuda Ukraina bersedia untuk itu.

Penguasa seperti Putin, sampai hari ini, nampaknya masih mampu menoleransi ratusan ribu rakyat, baik sebagai relawan maupun tentara bayaran, tewas di parit-parit peperangan, karena "stok" manusia Rusia jauh lebih banyak di banding Ukraina, setidaknya begitulah menurut data populasi kedua negara.

Menurut dokumen dari Intelijen Amerika belum lama ini, berjudul "Russia/Ukraine - Assessed Combat Sustainability and Attrition", Rusia telah menderita dengan 189.500-223.000 total korban, termasuk 35.500-43.000 tewas dalam peperangan dan 154.000-180.000 yang menderita luka-luka.

Sementara, di pihak Ukraina dilaporkan total 124.500-131.000 manusia telah menjadi korban, termasuk 15.500-17.500 tewas dalam aksi dan 109.000-113.500 terluka dalam konflik yang terjadi. Ini belum termasuk korban sipil, baik tewas maupun luka, yang dikabarkan lebih dari 10.000 korban.

Karena itu, sebagian pakar menyarankan Amerika Serikat dan Ukraina agar menerima tawaran perundingan dengan Rusia alias menerima sebagian daerah Ukraina Selatan dijadikan "tembok besar (Great Wall)" oleh Rusia, ketimbang terus saling bunuh di medan peperangan.

Kedua, semua negara Barat lama-kelamaan akan bermasalah dengan rakyatnya sendiri jika konflik berkepanjangan karena uang pajak yang mereka bayar justru dipakai pemerintah untuk membeli aneka persenjataan demi membantu Ukraina.

Kondisi tersebut, bagaimanapun, cepat atau lambat, akan mendorong kelompok garis keras kanan menjadi semakin kuat di setiap negara Barat.

Di Amerika Serikat, Donald Trump dan para pendukungnya mengutuk keras "cawe-cawe" Joe Biden di Ukraina.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com