Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masuki Hari Ke-100, Ini 5 Hal Perang Rusia Vs Ukraina yang Mengubah Dunia

Kompas.com - 03/06/2022, 18:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KYIV, KOMPAS.com - Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, hal itu adalah perang agresi skala besar pertama di Eropa sejak Perang Dunia II.

Perang yang tak terbayangkan bagi banyak orang ini telah berdampak luas pada tatanan dunia. Berikut adalah lima hal yang berubah akibatinvasi Rusia ke Ukraina.

Baca juga: Zelensky: Rusia Kuasai 20 Persen Wilayah Ukraina, Setara Gabungan 3 Negara

Arus pengungsi

Sejak invasi Rusia, sekitar 6,8 juta warga Ukraina telah meninggalkan negara mereka. Arus pengungsian juga membawa setidaknya 7,7 juta warga Ukraina mengungsi ke wilayah lain yang aman di negara mereka.

Setelah mengungsi ke negara tetangga, UNHCR menyebut setidaknya 3 juta pengungsi Ukraina melanjutkan perjalanan mereka ke wilayah lainnya. Di luar Polandia, saat ini Jerman dan Republik Ceko tercatat sebagai negara yang paling banyak menampung pengungsi. Jerman saat ini menampung 727.000 pengungsi dan Republik Ceko menampung 348.000 pengungsi.

Hampir 2 juta orang Ukraina telah kembali ke negara mereka sejak pertama kali melarikan diri dari perang. Meski demikian, menurut UNHCR beberapa di antara pengungsi saat ini bolak-balik dari negara tetangga ke negara mereka untuk mengungsi.

Para pengungsi dari Ukraina di sejumlah negara Uni Eropa memanfaatkan sistem sosial yang ada di negara tujuan. Untuk beberapa waktu, para pengungsi yang telah menetap di negara baru umumnya sangat bergantung dengan jaminan sosial di negara tersebut.

Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Invasi Rusia ke Ukraina Jadi Momentum Uni Eropa Genjot Energi Terbarukan

Krisis pangan

Ukraina adalah salah satu lumbung pangan di Eropa. Negara itu memproduksi sekitar setengah dari minyak bunga matahari dunia, menyuplai 15 persen dari kebutuhan jagung dunia, dan 10 persen gandum dunia. Konflik telah memutus ekspor produk-produk dari Ukraina. Hal ini tidak lepas dari upaya Rusia yang terus memblokade jalur-jalur ekspor dan perdangangan Ukraina di Laut hitam.

Cengkeraman ini terutama dirasakan di negara-negara yang bergantung pada impor biji-bijian dan minyak goreng Ukraina, seperti Mesir dan India. Namun, efek konflik ini jauh lebih luas. Beberapa pakar memperingatkan bahwa konflik, bersama dengan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim dan guncangan ekonomi akibat pandemik akan memicu krisis pangan global.

PBB memperingatkan bahwa tingkat kelaparan di seluruh dunia telah mencapai "tingkat tertinggi baru", menambahkan bahwa puluhan juta orang dapat menghadapi kelaparan jangka panjang akibat perang. Pada Mei, sekitar 23 negara telah memberlakukan pembatasan ekspor makanan. Hal ini sebagai indikasi memudarnya ketahanan pangan.

Baca juga: 20 Persen Wilayah Ukraina Dikuasai Rusia, Setara Luas Gabungan Belanda, Belgia, dan Luksemburg

Keamanan energi

Sebelum perang berkecambuk, Rusia telah menjadi sumber energi utama bagi seluruh Eropa. Rusia adalah pengekspor gas alam terbesar di dunia, pemasok minyak mentah terbesar kedua, dan pengekspor batu bara terbesar ketiga.

Tiga perempat dari gas produksi Rusia dan hampir setengah dari minyak mentahnya telah dikirim ke Eropa. Pada 2020, minyak, gas, dan batu bara Rusia menyumbang seperempat dari konsumsi energi Uni Eropa (UE).

Namun, setelah Rusia menginvasi Ukraina, UE berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya pada energi Rusia. "Kami tidak bisa mengandalkan pemasok yang secara eksplisit mengancam kami," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Maret.

Baca juga: Kisah Pasangan Ukraina Menikah Saat Perang, Acara Selesai Beberapa Menit, Hanya Cukup untuk Ciuman

Pada Maret, Komisi Eropa menguraikan niat untuk mengakhiri kebergantungan UE sepenuhnya dari bahan bakar fosil Rusia pada 2030. UE juga berencana untuk secara drastis mengurangi penggunaan gas Rusia sebesar dua pertiga pada akhir tahun ini.

Memaksimalkan penyimpanan gas adalah salah satu poin dalam rencana itu. Impor gas alam cair, misalnya dari Amerika Serikat merupakan opsi lain. Sementara itu, beberapa ahli memperkirakan potensi kekurangan gas hingga kemungkinan sistem ‘penjatahan' yang akan berlaku.

Banyak yang melihat krisis tersebut sebagai peluang bagi UE untuk tidak hanya membebaskan diri dari ketergantungan pada energi Rusia, tetapi juga memenuhi komitmen blok tersebut terhadap perlindungan iklim dengan membangun energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com