JENEWA, KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerima “tuduhan yang dapat dipercaya” bahwa lebih dari 100 mantan anggota pemerintah, pasukan keamanan Afghanistan dan mereka yang bekerja dengan pasukan internasional telah dibunuh sejak Taliban mengambil alih negara itu pada 15 Agustus.
Dalam sebuah laporan yang diperoleh Minggu (30/1/2022) oleh AP, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa "lebih dari dua pertiga" korban diduga akibat pembunuhan di luar proses hukum oleh Taliban atau afiliasinya.
Baca juga: Ditutup Sejak Taliban Berkuasa, Universitas Negeri di Afghanistan Segera Dibuka
Hal itu tetap dilakukan meskipun Taliban mengumumkan "amnesti umum" bagi mereka yang berafiliasi dengan mantan pemerintah dan pasukan koalisi pimpinan AS.
Misi politik PBB di Afghanistan juga menerima “tuduhan yang dapat dipercaya tentang pembunuhan di luar proses hukum terhadap sedikitnya 50 orang yang diduga berafiliasi dengan ISIL-KP,” kelompok ekstremis yang beroperasi di Afghanistan, kata Guterres dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB.
Dia menambahkan bahwa terlepas dari jaminan Taliban, misi politik PBB juga menerima tuduhan yang kredibel tentang penghilangan paksa dan pelanggaran lain, yang mempengaruhi hak hidup dan integritas fisik dari mantan anggota pemerintah dan koalisi.
Guterres mengatakan para pembela hak asasi manusia dan pekerja media juga terus “diserang, diintimidasi, dilecehkan, ditangkap secara sewenang-wenang, mendapat perlakuan buruk dan pembunuhan.”
Delapan aktivis masyarakat sipil tewas, termasuk tiga oleh Taliban dan tiga oleh kelompok ekstrimis. Setidaknya 10 menjadi sasaran penangkapan sementara, pemukulan dan ancaman oleh Taliban, katanya. Dua wartawan tewas - satu oleh IS - dan dua terluka oleh pria bersenjata tak dikenal.
Sekretaris jenderal mengatakan misi PBB mendokumentasikan 44 kasus penangkapan sementara, pemukulan dan ancaman intimidasi, 42 di antaranya oleh Taliban.
Taliban menguasai sebagian besar Afghanistan ketika pasukan AS dan NATO berada di tahap akhir penarikan mereka yang kacau dari negara itu setelah 20 tahun.
Mereka memasuki Kabul pada 15 Agustus tanpa perlawanan dari tentara Afghanistan atau presiden negara itu, Ashraf Ghani, yang melarikan diri.
Taliban awalnya menjanjikan amnesti umum bagi mereka yang terkait dengan mantan pemerintah dan pasukan internasional, serta toleransi dan inklusivitas terhadap perempuan dan etnis minoritas.
Namun, Taliban telah memperbaharui pembatasan pada perempuan dan menunjuk pemerintahan yang seluruhnya laki-laki. Perkembangan ini menyulut kekecewaan dari masyarakat internasional.
Ekonomi Afghanistan yang bergantung pada bantuan sudah terguncang ketika Taliban merebut kekuasaan, dan internasional membekukan aset Afghanistan di luar negeri dan menghentikan dukungan ekonomi.
Tindakan itu diambil mengingat reputasi Taliban untuk kebrutalan selama pemerintahan 1996-2001, dan penolakan untuk mendidik anak perempuan dan mengizinkan perempuan bekerja.
Baca juga: Sekjen PBB: Afghanistan Seolah Digantung di Seutas Benang
“Situasi di Afghanistan tetap genting dan tidak pasti enam bulan setelah pengambilalihan Taliban karena berbagai guncangan politik, sosial-ekonomi dan kemanusiaan bergema di seluruh negeri,” ujar Guterres.