KABUL, KOMPAS.com - Perempuan Afghanistan tidak akan lagi diizinkan menghadiri kelas atau bekerja di Universitas Kabul "sampai lingkungan Islam diciptakan," menurut pengumuman rektor baru yang ditunjuk Taliban pada Senin (27/9/2021).
Aturan itu merupakan langkah terbaru dalam pengecualian wanita dari kehidupan publik di Afghanistan ketika Taliban berkuasa.
Baca juga: Kisah Hakim Wanita Afghanistan yang Sembunyi dari Kejaran Taliban...
"Selama lingkungan Islam yang nyata tidak disediakan untuk semua, wanita tidak akan diizinkan untuk datang ke universitas atau bekerja. Islam dulu," kata Mohammad Ashraf Ghairat di akun Twitter resminya melansir CNN.
Sebelumnya pada Senin (27/9/2021), Ghairat berkicau dalam bahasa Pashto, bahwa universitas sedang mengerjakan rencana untuk mengakomodasi mengajar siswa perempuan. Tetapi dia tidak mengatakan kapan rencana ini akan selesai.
“Karena kekurangan dosen perempuan, kami sedang menyusun rencana agar dosen laki-laki bisa mengajar mahasiswi dari balik tirai di dalam kelas. Dengan begitu akan tercipta lingkungan yang islami bagi mahasiswi untuk mengenyam pendidikan,” tulisnya di Twitter.
Pengangkatannya sebagai rektor Universitas Kabul oleh Taliban disambut dengan badai kritik atas kurangnya kredensialnya.
Ghairat membalas penilaian tersebut di Twitter, dengan mengatakan bahwa dia melihat dirinya "sepenuhnya memenuhi syarat untuk memegang kursi ini."
Baca juga: Masih Diburu, Warga Afghanistan Anti-Taliban Hapus Rekam Jejak di Media Sosial
Dia juga memaparkan visinya untuk institusi tersebut pada Selasa (28/9/2021).
Tujuan Universitas Kabul kata dia, adalah menjadi pusat bagi "semua Muslim sejati di seluruh dunia untuk berkumpul, meneliti dan belajar" dan untuk "mengislamkan ilmu pengetahuan modern."
"Saya di sini untuk mengumumkan bahwa kami akan menyambut cendekiawan dan mahasiswa pro-Muslim untuk mendapatkan manfaat dari lingkungan Islam yang nyata," tulisnya di Twitter.
Taliban, yang memerintah Afghanistan dari 1996 hingga 2001 tetapi dipaksa turun dari kekuasaan setelah invasi pimpinan AS, secara historis memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua.
Taliban menjadikan perempuan Afghanistan sebagai sasaran kekerasan, pernikahan paksa dan kehadirannya nyaris tak terlihat di negara itu.
Setelah mereka merebut kembali ibu kota, Kabul, pada Agustus, kepemimpinan Taliban mengeklaim tidak akan memaksakan kondisi kejam seperti itu saat berkuasa kembali.
Namun janji-janji itu belum terwujud. Tidak ada perwakilan perempuan dari pemerintahan sementara mereka yang baru dibentuk.
Baca juga: Dubes Afghanistan Batal Pidato di Sidang Umum PBB, Ada Apa?
Perempuan Afghanistan hampir seperti hilang dalam semalam dari jalan-jalan negara itu.