Oleh: Hasan Sadeli*
AGUSTINUS Wibowo mengisahkan pengalamannya ketika berkunjung ke lembah Bamiyan pada bulan Juli tahun 2003. Lembah Bamiyan merupakan suatu wilayah yang berjarak sekitar 180 km barat laut ibu kota Afghanistan.
Dari lokasinya, kita dapat menyimpulkan bahwa itu bukan suatu liburan, melainkan misi nekat yang dimulai dari Beijing dengan modal hanya tiga ratus dollar AS.
Perjalanan menuju Afghanistan harus dilaluinya dengan berbagai jenis kendaraan, mulai dari kereta “kelas kambing”, bus, dan truk.
Setibanya di lembah Bamiyan, ia tidak mampu menyembunyikan ketakjubannya saat menyaksikan topografi yang kontras: antara eksotisme padang yang hijau terhampar, dengan deretan gunung cadas yang kerontang.
Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Situs Buddha Bamiyan di Afghanistan, Kenapa?
Di atas bukit yang berderet, terdapat rongsokan artileri, tank, dan peluru yang berserakan. Pemandangan tersebut menegaskan bahwa perang bukan merupakan kisah masa lalu di Afghanistan.
Ia kemudian menghampiri suatu lokasi yang membawanya berdiri tepat dihadapan reruntuhan patung Budha Bamiyan, dan melihatnya dengan perasaan penuh takzim.
Adam Smith, pelancong berkebangsaan Inggris yang bersamanya ketika itu memungut serpihan batu yang permukaannya sedikit terlihat warna-warni. “Lihat ini, patung Budha ini dulunya pasti indah sekali”.
Semua ungkapan kekaguman, pilu dan perasaan risau yang dirasakan keduanya saat mengunjungi lembah Bamiyan, dicatat pada bagian awal buku berjudul Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan.
Dari yang tercatat dalam buku itu, dan dari apa yang tengah terjadi di Afghanistan saat ini, kita diingatkan agar tidak mengabaikan pentingnya menjaga dan memelihara warisan budaya, khususnya yang saat ini masih tersisa di Afghanistan.
Hal ini juga sebagaimana yang diungkapkan UNESCO (badan khusus PBB yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan) ketika menyerukan perlunya upaya perlindungan lebih terhadap berbagai benda atau bangunan bernilai warisan budaya di Afghanistan, baik dari upaya pengrusakan maupun penjarahan pasca berkuasanya Taliban.
Baca juga: Taliban Umumkan Pejabat Pemerintahannya, Lagi-lagi Tak Ada Perempuan
UNESCO dan para pencinta sejarah tentu masih ingat dengan perilaku Taliban di masa lalu yang kerap mengekspresikan berbagai tindakan yang berasal dari pandangan ultrakonservatif.
Salah satunya dengan mengasosiasikan patung-patung Budha di lembah Bamiyan, sebagai simbol pemujaan (berhala) yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Atas tafsir dan pandangan itu, Taliban mulai menyusun suatu strategi untuk menghancurkan patung-patung tersebut. Puncaknya terjadi pada awal Maret tahun 2001, saat pasukan Taliban “mendeklarasikan perang” terhadap patung-patung Budha di lembah Bamiyan.
Perlu diketahui, bahwa struktur patung-patung Budha di lembah Bamiyan ini sangat kokoh karena posisinya yang menempel dengan dinding (ceruk) tebing.