BANGKOK, KOMPAS.com – Ratusan pengunjuk rasa pro-demokrasi Thailand kembali turun ke jalan di Bangkok pada Kamis (24/6/2021).
Mereka kembali menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan perubahan konstitusi terhadap monarki yang kuat di negara itu.
Unjuk rasa tersebut kembali digelar meski menentang larangan pertemuan publik karena pandemi sebagaimana dilansir Reuters.
Baca juga: Thailand Punya Patung Buddha Raksasa Baru, Bisa Terlihat di Seluruh Ibu Kotanya
Aski itu digelar ketika pemerintahan Prayuth menghadapi kritik publik atas penanganan wabah virus corona, pemulihan ekonomi yang lambat, dan kebijakan vaksin yang melibatkan perusahaan milik Raja Maha Vajiralongkorn.
"Konstitusi harus datang dari rakyat," kata pemimpin demonstrasi, Jatupat "Pai Daodin" Boonpattararaksa, kepada massa di Bangkok.
Tahun lalu, demonstrasi yang dipimpin oleh angkatan muda Thailand menarik ratusan ribu orang di seluruh negeri.
Namun, aksi mereka terhenti setelah aparat Thailand menindak demonstran dengan menahan para pemimpin protes dan munculnya gelombang baru infeksi Covid-19.
Baca juga: Gajah di Thailand Jebol Tembok Dapur Rumah Orang dan Curi Sekantong Beras
Sebelum aksi demonstrasi kembali digelar pada Kamis, para pengunjuk rasa telah melanggar tabu dengan mengkritik raja.
Di bawah hukum lese majeste, barangsiapa yang mencemarkan nama baik keluarga kerajaan Thailand dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.
Pada Maret, puluhan pengunjuk rasa terluka ketika polisi menembakkan meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk membubarkan protes.
Aksi demonstrasi pada Kamis tersebut bertepatan dengan hari ketika Thailand mengumumkan berakhirnya monarki absolut pada 24 Juni 1932.
Baca juga: Thailand Mulai Inokulasi Covid-19 Gunakan Vaksin Produksi Perusahaan dalam Negeri