WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Bagi komunitas diaspora Indonesia, pemilu Amerika Serikat 2020 amat penting dan oleh karenanya mereka mengikuti proses ini dengan saksama walaupun sebagian tidak punya hak pilih sama sekali.
Sebagai pendatang, seperti yang dilansir dari BBC News Indonesia pada Selasa (3/11/2002), orang-orang Indonesia mengamati apakah kebijakan imigrasi pemerintahan Amerika Serikat (AS) untuk 4 tahun mendatang akan mempengaruhi mereka, serta bagaimana pendekatan penguasa dalam menangani isu rasisme.
Mengingat sebagian mencari nafkah di AS, mereka juga berkepentingan terkait dengan berapa besar pajak pendapatan yang mesti disetor, jika calon Partai Republik, Donald Trump, menang lagi. Atau sebaliknya, jika calon Partai Demokrat, Joe Biden, yang menang.
Pemilu AS kali ini digelar di tengah pagebluk Covid-19 yang telah menyebabkan lebih dari 1,2 juta orang meninggal dunia.
Negara dengan jumlah kasus dan kematian tertinggi adalah Amerika Serikat. Tentu pandemi ini setidaknya telah berdampak pada urusan kesehatan dan ekonomi warga.
Empat orang Indonesia yang telah lama menetap di negara yang dijuluki Uncle Sam atau Paman Sam berhasil dihubungi. Dua orang di antara mereka memegang kewarganegaraan AS, sehingga punya suara untuk menentukan pemenang dalam perebutan tiket ke Gedung Putih.
Berdasarkan data KBRI Washington DC pada Juni 2020, jumlah warga negara Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat mencapai lebih dari 142.000 orang.
Baca juga: Pilpres Amerika: Situasi Paling Berbahaya jika Trump Deklarasikan Kemenangan Lebih Awal
Nina (50), bukan nama sebenarnya. Asli Jawa Timur, ia pindah ke AS sesudah Presiden Soeharto lengser pada 1998.
Kini Nina sudah menjadi Republikan, anggota Partai Republik. Partai berlambang gajah itu kembali mencalonkan Donald Trump untuk masa jabatan kedua.
"Republik ini partai konservatif. Saya suka dengan itu karena sesuai dengan pilihan, cuma yang menjadi presiden sekarang ini plin-plan. Dia itu sebenarnya baik, tapi hanya di bidang ekonomi karena dia pengusaha.
"Hanya untuk hal-hal lain, dia tidak bisa mempersatukan berbagai ras. Dia cenderung rasis. Tapi, dia tidak mengakui itu," kata Nina melalui sambungan telepon dari Negara Bagian Oklahoma.
Sebagaimana dikatakan oleh Nina, Presiden Trump menampik tudingan dirinya rasis. Satu contoh saja, ia membela serangannya terhadap 4 perempuan kulit berwarna di Kongres, yaitu Ilhan Omar dari Negara Bagian Minnesota, Ayana Pressley dari Massachusettes, Alexandria Ocasio-Cortez dari New York, dan Rashida Tlaib yang mewakili Michigan.
Pada Juli lalu, Trump mengatakan kepada keempat anggota Kongres supaya kembali ke negara asal mereka.
Nina mengamati pernyataan-pernyataan Trump yang kerap kontroversial membuat masyarakat semakin terpecah-belah, tak terkecuali di negara bagiannya.
Oklahoma merupakan salah satu basis Partai Republik dan dalam pemilihan presiden 2016 di negara bagian tersebut, Donald Trump dengan mudah mengalahkan Hillary Clinton, padahal Nina memberikan suara untuk calon presiden dari Demokrat.
"Tahun ini saya tak memilih siapapun. Joe Biden sendiri, saya tidak yakin. Pertama, dia sudah lebih tua dan kedua, di zaman Obama dia tidak bersuara," ia beralasan mengapa golput.
Sama dengan Nina, seorang perempuan asal Indonesia lain, Rita (bukan nama sebenarnya) sudah menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia mempunyai hak pilih jauh sebelum Barack Obama mencetak sejarah sebagai presiden AS berkulit hitam pertama pada 2008.
Baca juga: Lebih dari Rp 200 Triliun Biaya Pemilu Amerika, Senilai Berapa Mangkok Bakso?
Dari ibu kota Negara Bagian Colorado, Denver, Rita menceritakan kepada saya pilihan politiknya.
"Saya tidak berafiliasi dengan Demokrat atau Republik. Saya terdaftar sebagai independen. Saya juga tidak suka dengan Biden cuma karena tidak ada pilihan, saya memilih yang the least evil (yang terbaik dari dua calon yang sama-sama buruk)," tuturnya melalui percakapan telepon pada Jumat (30/10/2020).
Garis partai Demokrat, lanjutnya, tak sepenuhnya dapat ia terima dalam sejumlah isu.
"Saya milih independen karena kadang-kadang Demokrat terlalu progresif. Saya kurang begitu setuju kalau soal pernikahan gay. Kalau soal aborsi, itu tergantung situasi. Cuma untuk soal LGBT, saya merasa kayak kita dicekoki di sekolah anak-anak. Saya kurang begitu setuju."