ZURICH, KOMPAS.com - Gamelan Jawa mengalun perlahan. Suara sinden menyelinginya. Lalu menyusul ki dalang dengan vokal lantangnya. Cahaya meredup. Bayangan Gatotkaca, Arjuna hingga Semar dan Petruk berkelebat.
Pertunjukan wayang kulit itu terjadi di Smaragd, sebuah ruangan bawah tanah di museum Rietberg, Zurich, Swiss.
Ya, tidak salah, memang di Swiss, Eropa Tengah. Bukan di Yogjakarta, tidak Surakarta atau Semarang. Tapi di salah satu kota termahal dunia, sekaligus terbesar di Heidiland.
Baca juga: Kota Semarang Usung Wayang Potehi Jadi Tema Perayaan Imlek
Dan di gedung yang dibatasi dinding kaca hijau toska itu, sekitar 130 wayang kulit Jawa dipamerkan.
Dari wayang versi Mahabarata dan Ramayana. Ada Arjuna dan keempat saudaranya, dan tentu saja Hanoman dan Wibisana sebagai bagian dari epik Ramayana. Uniknya, inilah pertama kali wayang kulit Jawa itu ditampilkan ke hadapan publik Swiss.
"Karena pada awalnya memang koleksi pribadi orang Zurich, yang disimpan untuk kenikmatan sendiri,“ kata Eva Christiane von Reumont kepada Kompas.com
Bukan hanya soal penampilan premiere wayang kulit Jawa di museum ini yang istimewa "Namun juga usianya yang sangat tua, sekitar 150 hingga 200 tahun,“ imbuh Eva.
Eva adalah kurator di museum ini. Setelah lulus program doktor dari Sekolah Tinggi Seni Universitas Bern, Swiss, perempuan kelahiran Hamburg, Jerman ini dipercaya mengurus artefak dari Indonesia. Dan restorasi wayang kulit adalah spesialisasinya.
Atmosfer wayang kulit Jawa itu terwujud juga atas kerja keras Eva. "Ini kerja panjang dua tahunan. Kalau akhirnya terwujud, saya senang sekali,“ katanya.
Baca juga: Kisah Mbah Brambang, Membuat Wayang sejak 1965, Dikirim hingga ke Luar Negeri
Sebelum pameran terlaksana, Eva menyempatkan mempelajari lebih mendalam wayang kulit Jawa di Semarang, Surakarta dan Yogjakarta selama tiga bulan, dalam keadaan hamil tua.
Itulah sebabnya, ia bersikeras tata lampu pameran ini harus temaram. Dan lebih penting lagi, ada bayangan wayang kulit yang menancap di ruangan Smaragd.
"Publik Swiss kan relatif asing dengan wayang kulit, jadi saya ingin menampilkan suasana seperti di Jawa,“ katanya.
Lalu ada slide dunia pewayangan yang terus diputar. Dan proses wayang kulit dari kulit mentah, tertatah, hingga sudah dicat warna warni sesuai karakternya.
Museum Rietberg Zurich mengkhususkan diri mengoleksi artefak dari luar Eropa. Namun koleksi asal Indonesia terhitung tidak banyak.
Johannes Beltz, Wakil Direktur Museum Rietberg mengakui hal itu. "Kami tidak punya kurator untuk koleksi asal Asia Tenggara. Selama ini lebih banyak terpusat ke Asia Selatan, Afrika, Asia Timur dan Amerika Latin,“ katanya kepada Kompas.com.
Baca juga: Menjaga Roh Kesetaraan Gender Lewat Pentas Wayang Orang di Semarang