PANDEMI telah memengaruhi secara signifikan formula pembelajaran dan model bisnis perguruan tinggi. Pandemi, tidak sekadar mengubah proses belajar mengajar menjadi daring, tetapi lebih jauh, telah menguji ekosistem dan materi ajar yang selama ini dilakukan.
Pandemi juga telah mengajarkan, bahwa kapasitas dan keterampilan digital adalah domain semua sivitas akademika. Setidaknya kemampuan minimal dalam penyiapan dan pengoperasian perangkat digital dalam proses belajar mengajar, dan manajemen perguruan tinggi.
Perguruan tinggi juga harus menata ulang kebijakan investasi infrastruktur digital dan strategi implementasinya.
Model bisnis pembelajaran digital di satu sisi akan menimbulkan beban investasi, tetapi di sisi lain akan memangkas biaya pembangunan fisik seperti infrastruktur bangunan ruangan kelas baru.
Hal yang paling mendasar adalah, ketersediaan infrastruktur jaringan dengan kualitas yang baik. Sedangkan untuk platform digital selain pilihan membangun sendiri, memanfaatkan Platform publik seperti Zoom Meeting, Google Meet, UmeetMe atau lainnya yang mudah diakses siapa pun tetap bisa menjadi alternatif, dan dimanfaatkan secara efisien tanpa perlu investasi secara khusus.
Penggunaan platform UmeetMe yang dibuat Telkom dapat menjadi pendorong pemanfaatan produk dalam negeri.
Dr Kevin Bell, Head of Higher Education and Research - ANZO, AWS dalam tayangannya tentang Disruption in higher education & the rise of skill-based learning and micro-credentialing (Part 1) Episode #10 mengeksplorasi bagaimana pendidikan tinggi menghadapi persaingan yang meningkat.
Ia menekankan agar universitas di Australia dan global, untuk berinvestasi dalam modalitas pembelajaran yang lebih fleksibel untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terus berkembang.
Namun, Kevin juga mengkritisi konsep 'pendidikan berbasis kompetensi' dan 'mikro-kredensial' seperti Massive Open Online Courses (MOOC) dan Google yang meluncurkan model pembelajaran sendiri untuk menggantikan perolehan gelar 3-4 tahun, dan mempertanyakan apakah pembelajaran semacam itu dapat membuat peserta didik kompeten.
Apa yang diutarakan Kevin, prinsipnya menekankan bahwa sistem pembelajaran tidak boleh kehilangan manfaat tambahan, termasuk soft skill.
Ia mencatat adanya nilai yang berbeda dari pengajaran tatap muka, dibandingkan dengan pengalaman online sepenuhnya, dan menyarankan perlunya model yang menghasilkan keseimbangan keterampilan teknis dan sosial.
Di sisi lain, laporan yang dirilis UNESCO-IESALC berjudul Resuming or reforming? Tracking the global impact of the COVID-19 pandemic on higher education after two years of disruption, Abdrasheva, Dana at all, 2022 mengungkapkan keadaan pendidikan tinggi dua tahun setelah Covid-19.
Menurut laporan ini, institusi pendidikan tinggi di seluruh dunia kemungkinan akan menerapkan beberapa praktik digital dalam jangka panjang. Dampak pandemi pada pendidikan tinggi juga beragam dan berbeda untuk setiap institusi dan negara.
Berdasarkan berbagai pemikiran di atas, formula pembelajaran berbasis hybrid university relevan menjadi pilihan. Salah satu perguruan tinggi tanah air yang merespons model “Hybrid University” adalah Universitas Padjadjaran.
Rektor UNPAD Prof. Dr. Rina Indiastuti mengatakan bahwa hibrida sistem pembelajaran tetap akan mengombinasikan metode tatap muka dengan daring, mengingat pembelajaran tatap muka tetap diperlukan karena menghasilkan pengalaman pembelajaran yang tidak tergantikan.