Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Beda halnya dengan delusi. Delusi lebih menitikberatkan pada keyakinan seseorang akan sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak nyata.
Contohnya, saat individu merasa sedang dikejar-kejar, atau merasa dijauhi teman-teman sekomunitas, atau berprasangka bahwa seseorang telah jatuh cinta padanya meski kenyataannya tidak.
Dalam budaya kita, halusinasi dan delusi sering diidentikkan dengan gangguan dari makhluk astral, alias makhluk gaib.
Yang lebih memprihatinkan adalah stigma masyarakat terhadap seseorang yang mengalami halusinasi merupakan gangguan yang lumrah terjadi. Bukan sesuatu yang perlu mendapat perhatian lebih.
Padahal,sebagai salah satu gejala gangguan psikotik, halusinasi maupun delusi adalah gangguan yang membutuhkan penanganan medis, dalam hal ini pengobatan psikiater secepatnya.
Beragam tekanan hidup dan lingkungan diasumsikan menjadi external trigger, pemicu individu menekan emosinya, keinginannya, bahkan citra diri sebenarnya, supaya tetap dapat eksis dalam masyarakat sekitar.
Kalau kita menyimak kisah hidup selebritis Lady Gaga, dia juga pernah merasakan penolakan dalam lingkungannya. Namun, pilihan hidupnya for being the real her atau menjadi dirinya sendiri memberinya arti lebih dari sekadar numpang eksis di mata publik.
Pandemi Covid-19 semakin berbanding lurus dengan segala ketidakpastian dalam berbagai aspek hidup masyarakat. Kondisi itu menimbulkan stresor bagi individu untuk berusaha bertahan setiap hari, tanpa kenal batas usia maupun gender.
Baca juga: Rutin Minum Kopi Bisa Kurangi Risiko Depresi, Ini Alasannya
Manusia dipacu supaya beradaptasi dengan budaya baru yang terbentuk dari kondisi khusus, dalam hal ini pandemi Covid-19, bencana alam, atau kejadian khusus lainnya.
Tidak sedikit mereka yang menyerah atau memilih jalan pintas, flight, lari dari impitan alam agar dapat survive.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Profesor Richard Gray dari La Trobe University dan rekan-rekannya dari Orygen University of Melbourne pada bulan Mei 2020 menemukan fakta adanya keterkaitan antara gejala gangguan psikotik berupa halusinasi dan delusi dari beberapa orang pasien Covid-19.
Tekanan yang timbul akibat dari isolasi mandiri maupun aktivitas yang melulu dilakukan dari dalam rumah menyebabkan kurangnya sosialisasi individu terhadap lingkungan memicu individu untuk menekan emosi supaya dapat tetap bertahan.
Nah, sedikit tips saja cara menghadapi gejala psikosis.
Banyak motivator atau mereka yang peduli mental health menyarankan supaya kita tetap menjaga supaya dapat hidup tenang. Karena dalam tenang, kita tidak terburu-buru merespons sebuah kejadian.
Baca juga: Mengenali Perbedaan Kesedihan Biasa dan Gejala Depresi
Ada beberapa cara yang dapat kita biasakan. Seperti, berlatih meditasi (level pemula biasanya cukup berlatih menyadari satu siklus nafas ajha. Inhale, hitung empat hitungan, exhale, hitung empat hitungan), atau dapat juga dengan membangun rutinitas religius kita sebelum mengawali aktivitas.