Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ayu Diahastuti
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

5 Tips Sederhana Menghadapi Gejala Halusinasi dan Delusi

Kompas.com - 28/04/2022, 22:16 WIB
Kompasianer Ayu Diahastuti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Merasa Sering Halu? Ini 5 Tips Sederhana Menghadapi Gejala Psikosis"

KOMPAS.com - Temuan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kemenkes RI tahun 1990-2017 menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan penyumbang penyebab melambungnya angka kematian penduduk Indonesia sebesar 36,4 persen. 

Namun demikian, apabila dilihat dari penyebab kecacatan penduduk Indonesia, angka prevalensi terbesar berasal dari penyakit gangguan jiwa sebesar 13,4 persen. 

Sedangkan jenis gangguan jiwa terbanyak dialami oleh penduduk zamrud khatulustiwa ini adalah depresi.

Bagaimana dengan schizophrenia? Penderita schizophrenia menduduki peringkat ke-3. Fakta ini didukung oleh Riskedas 2018.

Baca juga: Bagaimana Kelebihan Dopamin Bikin Halusinasi dan Berkaitan dengan Skizofrenia?

The New York Times (28/12/2020) menyebutkan adanya beberapa orang yang mengalami halusinasi usai sembuh dari infeksi coronavirus. 

Fakta tersebut hingga kini masih menjalani proses kaji ulang untuk membuktikan adanya keterkaitan antara Covid-19 dengan timbulnya gangguan psikotik pada penderitanya.

Salah satu gejala seseorang mengalami skizoprenia atau masyarakat awam sering menyebutnya dengan "gila" adalah munculnya delusi dan halusinasi.

Perbedaan halusinasi, delusi, dan fantasi

Banyak orang mengira halusinasi sama artinya dengan imajinasi atau fantasi. Padahal itu bukan fenomena yang sama.

Menurut para ahli kesehatan, halusinasi, delusi, dan imajinasi bukanlah hal yang sama.

Hal ini perlu diluruskan karena pemahaman tentang halusinasi dan imajinasi masih diasumsikan sebagai fenomena yang sama. Padahal dua fenomena tersebut berbeda. 

Fantasi atau imajinasi timbul karena bentukan dunia fiktif yang muncul dari dalam diri kita sendiri. Kita yang menginginkannya muncul dalam diri kita.

Misalnya, seseorang ingin menjadi artis idola atau mengharapkan punya pacar kaya dan lain sebagainya.

Sedangkan halusinasi merupakan persepsi individu sebagai sebuah pengalaman melihat, mendengar, membaui, meraba, tanpa didapati sumber stimulusnya. Meskipun tidak didapati sumber rangsangan, namun pengalaman indrawi tersebut terjadi dalam kondisi sadar.

Biasanya halusinasi terjadi ketika melihat rumah sebagai area pekuburan. Mendengar burung berkicau menjadi bunyi terompet sangkakala. Merasa menjadi satu-satunya penebar virus corona ke seluruh dunia setelah sembuh dari flu Covid-19. Melihat air bening menjadi air selokan, dan lain sebagainya.

Beda halnya dengan delusi. Delusi lebih menitikberatkan pada keyakinan seseorang akan sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak nyata.

Contohnya, saat individu merasa sedang dikejar-kejar, atau merasa dijauhi teman-teman sekomunitas, atau berprasangka bahwa seseorang telah jatuh cinta padanya meski kenyataannya tidak.

Dalam budaya kita, halusinasi dan delusi sering diidentikkan dengan gangguan dari makhluk astral, alias makhluk gaib.

Yang lebih memprihatinkan adalah stigma masyarakat terhadap seseorang yang mengalami halusinasi merupakan gangguan yang lumrah terjadi. Bukan sesuatu yang perlu mendapat perhatian lebih.

Padahal,sebagai salah satu gejala gangguan psikotik, halusinasi maupun delusi adalah gangguan yang membutuhkan penanganan medis, dalam hal ini pengobatan psikiater secepatnya.

Kaitannya dengan kondisi sekarang

Beragam tekanan hidup dan lingkungan diasumsikan menjadi external trigger, pemicu individu menekan emosinya, keinginannya, bahkan citra diri sebenarnya, supaya tetap dapat eksis dalam masyarakat sekitar. 

Kalau kita menyimak kisah hidup selebritis Lady Gaga, dia juga pernah merasakan penolakan dalam lingkungannya. Namun, pilihan hidupnya for being the real her atau menjadi dirinya sendiri memberinya arti lebih dari sekadar numpang eksis di mata publik.

Pandemi Covid-19 semakin berbanding lurus dengan segala ketidakpastian dalam berbagai aspek hidup masyarakat. Kondisi itu menimbulkan stresor bagi individu untuk berusaha bertahan setiap hari, tanpa kenal batas usia maupun gender.

Baca juga: Rutin Minum Kopi Bisa Kurangi Risiko Depresi, Ini Alasannya

Manusia dipacu supaya beradaptasi dengan budaya baru yang terbentuk dari kondisi khusus, dalam hal ini pandemi Covid-19, bencana alam, atau kejadian khusus lainnya.

Tidak sedikit mereka yang menyerah atau memilih jalan pintas, flight, lari dari impitan alam agar dapat survive.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Profesor Richard Gray dari La Trobe University dan rekan-rekannya dari Orygen University of Melbourne pada bulan Mei 2020 menemukan fakta adanya keterkaitan antara gejala gangguan psikotik berupa halusinasi dan delusi dari beberapa orang pasien Covid-19.

Tekanan yang timbul akibat dari isolasi mandiri maupun aktivitas yang melulu dilakukan dari dalam rumah menyebabkan kurangnya sosialisasi individu terhadap lingkungan memicu individu untuk menekan emosi supaya dapat tetap bertahan.

Nah, sedikit tips saja cara menghadapi gejala psikosis.

1. Tetap tenang

Banyak motivator atau mereka yang peduli mental health menyarankan supaya kita tetap menjaga supaya dapat hidup tenang. Karena dalam tenang, kita tidak terburu-buru merespons sebuah kejadian. 

Baca juga: Mengenali Perbedaan Kesedihan Biasa dan Gejala Depresi

Ada beberapa cara yang dapat kita biasakan. Seperti, berlatih meditasi (level pemula biasanya cukup berlatih menyadari satu siklus nafas ajha. Inhale, hitung empat hitungan, exhale, hitung empat hitungan), atau dapat juga dengan membangun rutinitas religius kita sebelum mengawali aktivitas.

2. Pastikan ada jeda dalam setiap mengambil keputusan 

Sebagai seorang penyandang hipotiroid, penulis sering mengalami mood swing. Penulis juga banyak belajar untuk menjaga kesadaran dengan mengizinkan diri diam sejenak, mengambil jeda.

Ingat, keputusan yang kita ambil berdasar emosi biasanya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan kita. Jadi, jangan sungkan bila kita berkata pada lawan bicara kita, "maaf, saya lagi capek, kita bicarakan ini besok, ya?"

3. Salurkan setiap emosi dengan benar 

Emosi marah dan takut merupakan contoh dua emosi dasar yang biasanya kita hindari. Sebagian besar dari kita lebih memilih untuk menekan emosi. 

Kita lebih memilih untuk menekan marah agar tetap terlihat tampil baik, atau menyembunyikan takut karena menjadi pribadi dengan pilihan yang berbeda dengan yang lain. 

Jika hal ini dibiarkan, maka kita bisa mengalami gejala psikosis.

Beberapa cara untuk mencegahnya adalah dengan menangis, corat-coret di kertas sesuka Anda, atau "curhat" kepada teman terpercaya.

4. Kendalikan diri semampunya 

Segala yang tidak pasti di luar sana seperti penyebaran virus, timbulnya penyakit baru, ekonomi yang tidak menentu, atau situasi lain yang tidak mampu kita kendalikan, biarkan saja terjadi. 

Lakukan apa yang dapat kita lakukan. Kendalikan apa yang dapat kita kendalikan. Cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, kurangi mobilitas. Kalaupun harus beraktifitas di luar rumah secara rutin, selalu patuhi protokol kesehatan

5. Minimalkan ekspektasi yang berlebih 

Hidup "berjarak" secara fisik, menggiring manusia kekinian melibatkan gawai dalam berbagai manifestasinya di kehidupan sosial. Eksistensi kehidupan sosial manusia harus kita akui banyak didominasi oleh media sosial.

Tuntutan dunia maya tak dapat disangkal memberi pengaruh besar pada pertumbuhan mentalitas, seakan memaksa kita hidup di masa depan. Berekspektasi lebih dari apa yang saat ini, sekarang ini terjadi pada kehidupan kita. 

Kita seakan dituntut untuk lebih dari ini, lebih dari itu, bersaing dengan ini, berkompetisi dengan itu. Seakan tidak ada ruang untuk "cukup" atau "gagal". Tanpa kita sadari bahwa kita pun sebenarnya perlu menyediakan ruang bagi "kegagalan" yang mungkin terjadi dalam hidup kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com