KOMPAS.com - Erupsi Gunung Api Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang terjadi pada Sabtu (4/12/2021) sore berdampak sedikitnya di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Pronojiwo dan Kecamatan Candipuro.
Desa Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro, Lumajang merupakan kawasan yang paling terdampak.
Dikutip dari Tribun Madura, Minggu (5/12/2021), hingga kini jumah korban yang mengalami luka bakar mencapai 38 orang.
Sementara itu seorang janda, Mak Um (50) dilaporkan meninggal dunia akibat terkena Awan Panas Guguran (APG) Semeru.
Peristiwa Gunung Semeru meletus ini lantas mengundang pertanyaan, mengapa tak ada peringatan dini sehingga korban bencana alam dapat diminimalisir?
Baca juga: Status Gunung Semeru Level II, BNPB Imbau Warga Lakukan 4 Hal Ini
Pemerintah dinilai kurang siap mengantisipasi bencana alam di Kabupaten Lumajang.
Hal ini terlihat dari tak adanya Early Warning System (EWS) di Desa Curah Kobokan selama ini.
Padahal alat itu penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana.
"Alarm (EWS) gak ada, hanya sismometer di daerah Dusun Kamar A. Itu untuk memantau pergerakan air dari atas agar bisa disampaikan ke penambang di bawah," kata Kepala Bidang kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang, Joko Sambang.
Joko mengatakan, sebelum bencana itu menghantam, alat seismoter tersebut membaca getaran kenaikan debit air mencapai 24 amak.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.