Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Memahami Mudik sebagai Fenomena Protes

Kompas.com - 09/04/2024, 07:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT sejumlah catatan, “Mudik” sebagai istilah, sudah dikenal selama berabad-abad. Menelusuri kata “mudik” dalam bahasa Betawi, akarnya dari udik yang berarti kampung.

Sementara di tanah Jawa, mudik diriwayatkan berasal dari bahasa ngoko, yaitu “mulih dilik”, yang artinya pulang sebentar. (ganaislamika.com)

Kata mudik atau pulang ke kampung halaman bisa jadi sudah ada berabad-abad lamanya. Kebiasaan ini juga bisa ditemukan di banyak negara lain di dunia.

Namun fenomena mudik dalam skala besar dan bersifat kolosal dalam satu momen, agaknya hanya terjadi di Indonesia.

Di samping itu, fenomena ini sebenarnya juga terbilang baru di Indonesia. Bila kita melacak ke era sebelum kemerdekaan, fenomena mudik secara kolosal seperti sekarang, belum dikenali. Fenomena ini baru ada setelah kemerdekaan, atau tepatnya pada masa Orde Baru.

Patut diduga bahwa munculnya fenomena ini tidak lain disebabkan model pembangunan era Orde Baru yang bersifat terpusat di Pulau Jawa, khususnya Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya.

Sehingga orang-orang dari segala penjuru negeri lebih memilih meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasib di Ibu Kota. Dengan demikian, mudik yang mulanya merupakan tradisi kaum perantauan, berkembang menjadi tradisi kaum urban.

Kehidupan kaum urban adalah kehidupan mekanis; mengikuti ritme industrialisasi yang sistematis, teratur, terjadwal dan terstruktur, demikian juga dengan waktu libur.

Dan ketika bertemu momen libur cukup lama, maka mereka memutuskan pulang sebentar ke kampung halaman (mudik).

Sebagaimana layaknya kaum urban di banyak wilayah di dunia, mereka tidak pernah benar-benar mengalami integrasi yang utuh dengan bumi yang dipijaknya.

Ikatan mereka dengan kota-kota tempat mereka bekerja hanya bersifat ekonomi. Sedang kecintaan primordialnya, tetap terikat kuat dengan daerah asal atau tanah kelahirannya.

Itu sebabnya, ketika kegiatan ekonomi terhenti di kota, mereka tiba-tiba seperti kehilangan eksistensi. Seperti panggilan alam, mereka akan kembali ke tempat asalnya guna menemukan diri mereka yang sejati, apapun risikonya.

Andre Moller seorang jebolan Universitas Lund Swedia, dalam catatannya mengatakan, “setiap tahun, koran, radio, televisi dan media massa lainnya dipenuhi berita tentang susahnya, mahalnya, hingga bahayanya mudik. Namun setiap tahun juga orang-orang berbondong-bondong hendak pulang ke kampung halaman.” (Ramadhan di Jawa: 2005)

Sebagaimana dikatakan oleh Andre Moller, mudik bukan tanpa konsekuensi. Terhitung sejak beberapa dekade lalu, korban meninggal ketika mudik terus ada.

Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari kecelakaan, sakit dalam perjalanan, hingga disebabkan aksi kejahatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com