Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Memahami Mudik sebagai Fenomena Protes

Kompas.com - 09/04/2024, 07:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pemudik bersepeda motor melintas di jalan raya pantura, Indramayu, Jawa Barat, Senin (8/4/2024). Data pos penghitungan kendaraan UPPKB Losarang milik Kementerian Perhubungan mencatat jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan sepeda motor di jalur Pantura sejak H-7 hingga H-2 lebaran sudah mencapai 356.345 unit kendaraan. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara Pemudik bersepeda motor melintas di jalan raya pantura, Indramayu, Jawa Barat, Senin (8/4/2024). Data pos penghitungan kendaraan UPPKB Losarang milik Kementerian Perhubungan mencatat jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan sepeda motor di jalur Pantura sejak H-7 hingga H-2 lebaran sudah mencapai 356.345 unit kendaraan.
Selama bertahun-tahun, para sosiolog dan aktivis sosial melakukan protes dan berusaha mencari solusi atas kondisi ini.

Pemerintah, dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan yang lain selalu menilai bahwa mudik dan problematika di dalamnya tidak lain sebatas masalah transportasi, infrastruktur, keamanan, dan sistem lalu lintas.

Sayangnya, cukup jarang disadari, bahwa fenomena mudik sebenarnya efek samping dari kesalahan kebijakan makro pembangunan. Di dalamnya tersaji sejumlah masalah yang lebih besar, yaitu masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Alfred Schutz, seorang ilmuwan Jerman yang berhasil menggabungkan perspektif fenomenologi dengan sosiologi empiris menilai bahwa fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lanjut.

Dengan demikian, fenomena mudik dan segenap kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya, perlu dipandang lebih jauh dari sekadar fenomena sosial dan budaya.

Menurut Schutz, fenomena mudik adalah refleksi dari kompleksitas permasalahan nyata yang dihadapi bangsa ini. Yaitu ketimpangan ekonomi antara pusat-daerah akibat skema pembangunan yang terpusat atau tidak merata.

Dengan kata lain, fenomena mudik tidak lain merupakan manifestasi protes yang paling kolosal, masif dan alamiah, atas sejumlah masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang kita hadapi selama ini.

Sama seperti bencana alam yang berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem lingkungan, mudik juga berlangsung untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi dan pembangunan antar wilayah dan daerah di Indonesia.

Instrumen pemerataan ekonomi

Dari perspektif ekonomi, belakang dipahami, bahwa fenomena mudik ternyata dapat menjadi instrumen pemerataan ekonomi antardaerah dan dapat menjadi salah satu langkah penting dalam membangun keseimbangan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam hal pemerataan pembangunan, aktifitas mudik yang berlangsung dalam skala masif dengan durasi cukup lama seperti akan kita jalani menjelang Lebaran, akan membuat uang dan jasa berputar lebih lama dari dan juga masif dari daerah maju ke desa-desa.

Ini tentu akan berkonstribusi besar terhadap pengandalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara.

Dan sebagai fenomena protes, tradisi mudik ini akan secara otomatis menuntut adanya dukungan infrastruktur memadai, jalan yang baik, transportasi umum yang terjangkau, serta fasilitas pendukung lainnya akan memudahkan akses mudik bagi masyarakat.

Selain itu, layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan juga perlu ditingkatkan di daerah-daerah yang menjadi tujuan mudik.

Dengan demikian, para pemudik tidak hanya merasakan kenyamanan dalam perjalanan mereka, tetapi juga memiliki insentif ekstra untuk berkontribusi pada pengembangan daerah.

Kita berharap, pemerintah bisa menangkap aspirasi protes yang publik sampaikan melalui fenomena mudik ini.

Sehingga mudik bukanlah hanya dianggap sekadar peristiwa tahunan, tetapi juga potensi besar bagi pemerataan ekonomi di Indonesia. Terlebih pada tahun ini, durasi mudik akan berlangsung cukup lama dan diprediksi akan masif.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan jumlah pemudik pada periode Hari Raya Idul Fitri 2024 mencapai 193,6 juta orang. Perkiraan itu naik dari tahun lalu dengan jumlah pemudik sebanyak 123,8 juta orang.

Melalui dukungan infrastruktur, pemberdayaan potensi lokal, dan inovasi teknologi, tradisi ini bisa menjadi momentum yang membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.

Dengan demikian, Indonesia dapat melangkah menuju keseimbangan pembangunan yang merata, menjadikan setiap sudut negeri ini sebagai pusat pertumbuhan yang berkelanjutan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com