Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang Indonesia Hampir Rp 8.000 Triliun, Kemenkeu Ungkap Penyebabnya

Kompas.com - 01/12/2023, 09:45 WIB
Alinda Hardiantoro,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Dampak kenaikan utang Indonesia

Di sisi lain, ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan utang Indonesia dikhawatirkan tidak mencerminkan produktivitas ekonomi.

Hal ini karena pertumbuhan utang yang naik tapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen tetapi pertumbuhan utang lebih tinggi, yakni 6 persen.

"Jadi kenaikan utang ini semakin mencerminkan ekonomi yang kurang produktif," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/11/2023).

Menurutnya, hal itu menjadi catatan krusial karena bisa menjadi beban negara.

"Kalau utang pertumbuhannya terlalu cepat dibandingkan sektor riil, maka keberadaan utang ini bukan menjadi leverage tapi justru menjadi beban ekonomi atau yang disebut sebagai dead overhang," terang dia.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa persentase utang masih di bawah ketentuan Undang-Undang, Bhima berpendapat, utang Indonesia sudah masuk ke dead overhang.

Hal tersebut bisa terjadi akibat besarnya biaya bunga utang yang harus dibayar dan juga utang jatuh tempo baru sehingga membuat ruang fiskal semakin sempit.

Misalnya, anggaran untuk bunga utang bisa dialokasikan untuk pembayaran bantuan sosial atau dialokasikan untuk belanja yang lebih produktif tapi sebagian APBN justru habis untuk membayar bunga utang.

"Meskipun utangnya rendah masih jauh di bawah 60 persen, tetapi dari indikator kesehatan utang, misalnya dead to service ratio ataupun perbandingan antara total utang dengan penerimaan, negara ini sudah menunjukkan tanda-tanda yang kurang sehat," tandas dia.

Selain itu, laju utang Indonesia yang terus naik juga bisa berimplikasi pada kondisi crowding out effect di mana keadaan pengeluaran investasi dari sektor swasta menurun karena adanya peningkatan pinjaman pemerintah.

"Kalau ini terjadi apalagi simpanan perbankan saat ini likuiditasnya sangat gemuk tapi tidak terlalu cepat menyalurkan ke kredit maka yang terjadi adalah perebutan dana yang kurang sehat antara dunia usaha dengan pemerintah," tandas Bhima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com