KOMPAS.com - Spesies bambu yang ditemukan di seluruh Jepang, Phyllostachys nigra var. henonis, mulai berbunga untuk pertama kalinya sejak 120 tahun.
Meski menunggu waktu lama untuk berbunga, keindahan tanaman ini akan segera berakhir seiring dengan usianya yang tak lagi panjang.
Dikutip dari IFL Science, Kamis (7/9/2023), jarak waktu pembungaan yang lebih dari satu abad membuat ahli botani tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mempelajari bagaimana bambu beregenerasi.
Bahkan, peristiwa langka ini terakhir terjadi pada 1908, meski beberapa bambu berbunga antara 1903 dan 1912.
Dengan demikian, berbunganya bambu yang kerap disebut bambu henon ini sebenarnya diprediksi akan kembali terjadi 120 tahun kemudian, yakni pada 2028.
Baca juga: PM Jepang Makan Ikan Laut dari Fukushima untuk Hilangkan Kekhawatiran
Para peneliti di Hiroshima University menemukan, sebatang bambu henon berbunga pada awal 2020.
Mereka pun tak melewatkan kesempatan langka ini untuk menelitinya, dan mempublikasikan temuan di jurnal Plos One pada 12 Juni 2023.
Kendati berhasil dipublikasikan, para peneliti masih belum berhasil memecahkan misteri mengapa tak ada satu pun tanaman bambu baru, meski mereka telah menghasilkan bunga dan biji.
"Bambu tersebut tidak menghasilkan benih yang dapat berkecambah. Produksi rebung dihentikan setelah pembungaan," ujar penulis pertama, Toshihiro Yamada, dikutip dari Cosmos Magazine, Rabu (8/9/2023).
"Tidak ada tanda-tanda regenerasi bambu ini setelah berbunga selama tiga tahun pertama," sambungnya.
Kondisi tersebut menyiratkan bahwa spesies Phyllostachys nigra var. henonis sulit untuk diregenerasi atau lambat dalam beregenerasi.
Padahal, fakta menunjukkan bahwa bambu yang berasal dari China ini telah bertahan di Negeri Matahari Terbit selama lebih dari 1.000 tahun.
Tanaman tersebut bahkan menjadi salah satu jenis bambu paling umum di Jepang, yang memiliki sekitar 1.700 kilometer persegi hutan bambu.
"Phyllostachys nigra var. henonis pasti telah beregenerasi berulang kali, karena ia pasti telah mengalami banyak peristiwa berbunga selama periode ini," ungkap Yamada.
Baca juga: Imbas Limbah Nuklir, Amankah Mengonsumsi Makanan Laut dari Jepang?
Para peneliti mengungkapkan, lambatnya regenerasi dapat menimbulkan dampak ekonomi cukup besar bagi Jepang.
"Karena memainkan peran penting dalam masyarakat manusia di Jepang, matinya seluruh tanaman setelah berbunga akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar," terang Yamada.
Tidak hanya itu, penurunan populasi bambu juga akan berdampak pada lingkungan, termasuk perubahan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan, serta penutupan lahan bekas tegakan bambu.
"Jadi tegakan bambu akan berubah menjadi padang rumput setelah berbunga, setidaknya selama beberapa tahun. Kita mungkin perlu mengelola perubahan drastis ini setelah bambu berbunga," kata Yamada.
Guna mengantisipasi dampak buruk ini, para peneliti menyarankan untuk mulai melakukan pemupukan dan penanaman tegakan bambu henon baru.
Baca juga: Mengenal 7 Pulau Kucing di Jepang, Ada yang Populasinya Melebihi Penduduk
Penelitian juga menunjukkan, penebangan bambu bisa membuahkan peluang untuk lebih menyuburkan bambu henon.
Namun, setelah tanaman baru berdiri, diperlukan upaya besar untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
"Penebangan tegakan bambu memakan waktu dan tenaga karena sistem bawah tanahnya yang padat," tulis para peneliti dalam studi.
"Jika lahan bambu perlu dibersihkan untuk keperluan lain, periode setelah berbunga saat bambu lemah, jelas merupakan waktu terbaik," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.