Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gejala Demam, Batuk, dan Pilek Merebak, Warganet Kaitkan dengan Kualitas Udara, Benarkah?

Kompas.com - 09/08/2023, 18:00 WIB
Alinda Hardiantoro,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Memasuki puncak musin kemarau, sejumlah warganet mengaku merasakan sejumlah gejala tanda sakit, seperti demam, hidung tersumbat, hingga batuk.

Gejala tersebut dirasakan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

"Iya lagi banyak bocil-bocil sakit. plis adakah dokter yang bisa menjelaskan kenawhy bisa banyak kasus berbarengan gini," tulis akun @natan****.

Beberapa warganet mengaitkan gejala tersebut dengan kualitas udara di Indonesia.

Sejumlah kota di Indonesia belakangan memang memiliki kualitas udara yang tidak sehat bagi kelompok yang sensitif sebagaimana disampaikan IQAir.

"Gimana gak banyak yg sakit? Apalagi anak2. Kualitas udaranya kyk gini," kata @c0co***.

"Anak-anakku abis ngalamin batuk pilek 3 minggu trus minggu kedua baru keluar demam 3 hari berturut-turut. Finally they cope it very well setelah ke dsa much better. Pada semua oenyebbanya krn udara ama anginan," ungkap @coksa*****.

Lantas, benarkah gejala batuk, pilek, dan demam meningkat karena pengaruh kualitas udara?

Penjelasan Kemenkes

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kualitas udara bisa menjadi salah satu penyebab munculnya gejala batuk, pilek, dan demam.

"Bisa jadi," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/8/2023)

Namun, dia memastikan bahwa penyebab peningkatkan gejala sakit belakangan ini bukan semata-mata karena kualitas udara di Indonesia.

"Banyak faktor ya," terangnya.

Nadia mengaitkan kondisi kesehatan warga Indonesia dengan fenomena cuaca yang tengah memasuki El Nino dan panas yang berkepanjangan.

"Bisa juga kondisi (karena) kesehatan yang tidak optimal karena faktor lelah lantaran aktivitas sudah kembali 100 persen," tandasnya.

Nadia juga memastikan hal itu terjadi bukan karena munculnya varian baru Covid-19 di Indonesia, Eris.

"Kalau sampai saat ini varian Eris belum mendominasi Indonesia," ucap dia.

Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat, Ini Penyebabnya Kata DLH DKI

Bahaya kualitas udara yang buruk

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, menghirup udara dengan tingkat polusi yang tinggi berbahaya bagi kesehatan.

Pedoman WHO mulai 2021 menyebutkan bahwa udara dengan bersih adalah udara yang memiliki paparan tahunan PM2.5 kurang dari 5 ug/m3.

Indonesia sendiri menurut IQAir pada Rabu (9/8/2023) menduduki peringkat ketiga dengan indeks kualitas udara 124. Masuk ke dalam kategori tidak sehat.

Data tersebut diperbarui setiap hari untuk mengetahui kualitas udara di Indonesia.

Jika berlangsung terus menerus, keadaan itu bisa membahayakan kesehatan mereka yang menghirupnya.

Baca juga: Ini yang Terjadi jika Tubuh Menghirup Udara dengan Kualitas Buruk

WHO menyatakan, setiap tarikan napas, tubuh kita akan menghirup partikel-partikel kecil yang dapat merusak paru-paru, jantung, dan otak serta menyebabkan sejumlah masalah kesehatan lainnya.

Akibatnya, pencemaran udara memiliki dampak bagi kesehatan, di antaranya adalah gangguan saluran pernafasan, penyakit jantung, kanker berbagai organ tubuh, gangguan reproduksi dan hipertensi (tekanan darah tinggi).

Oleh sebab itu, Nadia mengimbau kepada masyarakat untuk kembali mengenakan masker ketika kualitas udara sedang tidak bersahabat.

"Walau sehat beraktifas di luar ruangan dapat menggunakan masker untuk mencegah polusi udara," jelas dia.

Begitu juga dengan penderita gejala betuk, pilek, dan demam yang terpaksa beraktivitas di luar rumah diharap tetap bermasker.

Baca juga: Mengapa Udara di Gunung Dingin padahal Lebih Dekat dengan Matahari?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com