Berdasarkan pemberitaan Kompas.com, terdapat sejumlah pasal dalam UU Kesehatan yang kemudian memunculkan polemik di tengah para nakes.
Dalam UU Kesehatan disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik.
"Tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)," demikian menurut Pasal 233 UU Kesehatan.
Persyaratan yang harus dikantongi mereka untuk membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktik.
Baca juga: WHO Disebut Bakal Umumkan Pemanis Aspartam sebagai Penyebab Kanker, Ini Kata Dokter
Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis, mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.
Aturan tersebut dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Profil Adib Khumaidi, Ketua Umum PB IDI 2022-2025
Para tenaga kesehatan dan medis turut memiliki kekhawatiran terhadap potensi kriminalisasi yang tertuang dalam pasal 462 ayat 1.
"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian tertulis dalam pasal tersebut.
Lalu, pada ayat 2 tertulis, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".
IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.
Baca juga: Viral, Video Kucing Kekar Berotot seperti Binaragawan, Apa Penyebabnya?
Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah soal mandatory spending atau alokasi anggaran.
DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.
Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, melainkan berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.