Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Isi RUU Kesehatan dan Mengapa Ditentang Para Nakes?

Pengesahan terkait RUU Kesehatan tersebut dilakukan melalui Rapat Paripurna ke-29 DPR masa sidang 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023).

Rapat paripurna itu dipimpin oleh ketua DPR RI Puan Maharani dengan didampingi oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus dan Rachmat Gobel.

Dilansir dari Kompas.id, enam fraksi di Komisi IX DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan tersebut ketika hadir dalam rapat.

Sementara itu, satu fraksi, yakni Partai Nasdem, setuju dengan catatan.

Lalu, dua fraksi lainnya, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, menyatakan penolakan.

Isi RUU Kesehatan

Isi RUU Kesehatan yang disahkan menjadi UU terdiri dari 20 bab dan 478 pasal.

Beberapa substansi yang termuat dalam RUU Kesehatan berkaitan dengan penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kesehatan, penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, serta transparansi proses registrasi dan perizinan tenaga medis.

Saat menyampaikan pendapat akhir Presiden atas RUU Kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, UU Kesehatan menjadi tonggak transformasi kesehatan nasional yang mandiri dan inklusif.

Melalui UU ini, kesehatan di Indonesia disebut tidak lagi berorientasi pada pengobatan, melainkan pada pencegahan.

Selain itu, Budi mengatakan, UU Kesehatan akan menjamin pemenuhan infrastruktur, sumber daya manusia, sarana prasarana, pemanfaatan teknologi telemedicine, dan pengampuan jejaring prioritas layanan kesehatan berstandar nasional dan internasional.

Jaminan soal fasilitas pelayanan kesehatan tertuang dalam regulasi yang diatur di Bab VI.

Sementara itu, hal lain yang layak disorot dalam isi RUU kesehatan adalah substandi sumber daya manusia kesehatan di Bab VII.

Dalam bab tersebut terdapat aturan soal pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Berdasarkan pemberitaan Kompas.com, terdapat sejumlah pasal dalam UU Kesehatan yang kemudian memunculkan polemik di tengah para nakes.

1. Izin dokter asing dipermudah

Dalam UU Kesehatan disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik.

"Tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)," demikian menurut Pasal 233 UU Kesehatan.

Persyaratan yang harus dikantongi mereka untuk membuka praktik di dalam negeri adalah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktik.

Akan tetapi, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis,  mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.

Aturan tersebut dinilai berbahaya karena dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

Para tenaga kesehatan dan medis turut memiliki kekhawatiran terhadap potensi kriminalisasi yang tertuang dalam pasal 462 ayat 1.

"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian tertulis dalam pasal tersebut.

Lalu, pada ayat 2 tertulis, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".

IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.

3. Mandatory spending

Persoalan lain yang menjadi sorotan adalah soal mandatory spending atau alokasi anggaran.

DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen.

Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, melainkan berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.

Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan diharapkan bisa berjalan maksimal.

Namun, penghilangan pasal itu justru disebut tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.

4. Konsil kedokteran bertanggung jawab kepada menteri

Selanjutnya, pasal dipersoalkan berkaitan dengan posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," demikian isi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.

Menurut IDI, pasal itu melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya akan diambil alih Kemenkes.

Sebelum ini, Konsil Kedokteran bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.

(Sumber: Kompas.com/Fika Nurul Ulya, Ardhyasta Dirgantara | Editor: Bagus Santosa, Aryo Putranto Saptohutomo)

https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/13/073000565/apa-isi-ruu-kesehatan-dan-mengapa-ditentang-para-nakes-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke