Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tradisi Brandu di Gunungkidul, Diduga Sebabkan Penularan Antraks

Kompas.com - 08/07/2023, 19:30 WIB
Erwina Rachmi Puspapertiwi,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tradisi brandu yang dilakukan warga Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta diduga menjadi salah satu penyebab penularan antraks dari sapi ke manusia.

Penularan tersebut menyebabkan tiga warga meninggal dunia dan 87 orang positif antraks.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Nuryani Zainuddin.

"Ini (tradisi brandu) adalah yang paling meningkatkan faktor risiko terjadinya kasus ini," ujarnya dalam konferensi pers secara daring di akun YouTube Kementerian Kesehatan, Kamis (6/7/2023).

Nuryani menjelaskan, tradisi brandu atau porak merupakan tradisi masyarakat Gunungkidul yang membagikan dan mengonsumsi daging hewan ternak yang sudah mati atau kelihatan sakit.

"Mereka menyembelih (sapi) dan membagi-bagikan (daging) ke tetangga," ujarnya.

Lalu, seperti apa tradisi brandu di Gunungkidul tersebut?

Baca juga: Perkembangan Kasus Antraks di Indonesia, Ada sejak Tahun 1884


Tradisi Brandu

Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Perternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul Retno Widyastuti membenarkan tradisi brandu menjadi kendala penanganan antraks di daerahnya.

”Itu (tradisi brandu) adalah salah satu yang membikin kita enggak berhenti-henti ada antraks,” katanya, dikutip dari Kompas.id, Rabu (5/7/2023).

Retno mengatakan, masyarakat Gunungkidul telah mengenal tradisi brandu sejak lama.

Menurutnya, tradisi ini sebenarnya bertujuan baik karena membantu warga yang kehilangan ternaknya agar tidak mengalami kerugian besar.

Namun, tradisi brandu berisiko membahayakan kesehatan warga karena hewan ternak yang mati bisa menularkan penyakit.

Baca juga: 5 Fakta Kasus Antraks di Gunungkidul: Warga Konsumsi Sapi yang Sudah Dikubur, 87 Orang Positif

Retno mengungkapkan, hewan ternak yang mati disembelih warga dan dijual per paket.

"Kalau saya tanya, memang tujuannya baik membantu warga yang kesusahan biar tidak terlampau rugi itu dibagi-bagi, satu paketnya itu Rp 45.000. Dijual," jelasnya, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (5/7/2023).

Uang tersebut kemudian dikumpulkan dan diberikan ke pemilik ternak yang kesusahan.

"Jane (sebenarnya) itu tujuannya apik (bagus). Pas saya di sana bilang kalau mau brandu ya brandu barang sehat gitu. Barang bermutu jadi tidak membahayakan manusia," lanjut dia.

Baca juga: Kronologi Puluhan Warga di Gunungkidul Terkena Antraks

Bentuk simpati masyarakat

Kepala Desa Candirejo Renik David Warisman mengungkapkan, warga setempat memang melaksanakan tradisi brandu sebelum kasus antraks muncul di Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul.

Menurutnya, tradisi brandu merupakan bentuk simpati masyarakat terhadap tetangga yang ternaknya mati.

“Kalau para petani itu tabungannya hewan ternak itu, sehingga kalau ternaknya mati itu musibah. Jadi, untuk meringankan beban dari pemilik ternak yang mengalami musibah, caranya seperti itu,” ujarnya.

Meski bertujuan baik, tradisi ini tak lepas dari risiko penyebaran penyakit dari hewan kepada manusia.

Baca juga: Ini Bahaya Daging Sapi yang Terkena Antraks, Jangan Dimakan meski Dimasak Matang

Pemkab kaji tradisi brandu

Sementara itu, Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengatakan warga sering mendapatkan sosialisasi terkait bahaya memakan daging hewan mati dalam tradisi brandu.

"Kalau sosialisasi sudah terus menerus kawan-kawan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) sudah dilakukan agar tidak dibrandu. Intinya sudah berulang (sosialisasi). Kembali lagi faktor ekonomi, karena biasanya eman-eman (sia-sia dagingnya)," jelasnya.

Selain sosialisasi, Heri menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan kajian untuk membahas soal pelarangan tradisi brandu.

Ia berharap tidak ada lagi warga yang mengkonsumsi ternak mati ataupun sakit.

"Selain itu, kita ada upaya ke depan yang kira-kira nanti bisa meringankan saudara kita yang hewannya sakit sehingga tidak dikonsumsi," ujarnya.

Meski begitu, Heri belum memastikan upaya yang akan dilakukan.

Ia hanya memastikan akan ada tindakan lain yang diambil mengingat tradisi brandu berisiko tinggi kalau sampai warga mengonsumsi daging dengan penyakit antraks.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com