Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Kontroversial Revisi UU TNI, Prajurit Aktif Bisa Duduki Jabatan di Berbagai Kementerian dan Lembaga

Kompas.com - 17/05/2023, 09:00 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Ia mengingatkan bahwa TNI yang dulunya bernama ABRI pernah terlibat politik praktis ketika mereka diberi ruang menjabat di kementerian, DPR, dan kepala daerah.

Baginya, perluasan jabatan dalam revisi UU tersebut membuka ruang bagi prajurit TNI untuk berpolitik.

Baca juga: Pasal-pasal yang Diusulkan Diubah dalam Revisi UU TNI: Ada Jabatan Wakil Panglima dan Pensiun Prajurit sampai 60 Tahun

Hubungan TNI dengan presiden

Selain Pasal 47, Pasal 3 ayat (1) juga disorot karena mengatur kedudukan dan hubungan kelembagaan antara TNI dengan presiden.

Pasal 3 ayat (1) yang masih berlaku saat ini berbunyi, "Pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden".

Revisi UU TNI mengubah ayat tersebut menjadi, "TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden".

Menurut pengamat militer dari Center for Intermestic and Diolomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas, usulan perubahan pada Pasal 3 tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Ia menyampaikan, dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan.

"Pasal 10 UU Pertahanan Negara jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI," ujarnya.

"Penggunaan istilah ‘keamanan negara’ juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu atau gray area dan overlapping (tumpang tindih) dengan tugas Polri," sambung Anton.

Baca juga: Viral, Video Prajurit Gadungan Ajak Wanita Foto Studio, Ini Kata TNI

Revisi UU TNI dianggap berbahaya

Lebih lanjut, Anton menuturkan bahwa penghilangan narasi posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer dianggap berbahaya.

Terjadinya penghilangan garis komando, kata Anton, dapat membuka ruang bagi terjadinya insubodrinasi militer terhadap pemimpin sipil.

"Belum lagi, ketentuan pelaksanaan operasi militer, baik perang dan non-perang, yang mensyaratkan kebijakan dan keputusan politik negara juga ingin dianulir," tuturnya.

Ia juga menyoroti, ada indikasi rencana revisi UU TNI menginginkan operasi militer selain perang (OMSP) tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara.

"Patut diingat, kebijakan dan keputusan politik negara merupakan payung dasar yang dibutuhkan prajurit di lapangan untuk dapat bergerak leluasa," paparnya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com