Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Kontroversial Revisi UU TNI, Prajurit Aktif Bisa Duduki Jabatan di Berbagai Kementerian dan Lembaga

Kompas.com - 17/05/2023, 09:00 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wacana untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kontroversi.

Beberapa pihak melayangkan protes terhadap rencana itu lantaran revisi UU TNI dinilai membangkitkan dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru (Orba).

Salah satu yang menjadi sorotan adalah peluang prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di beberapa pos kementerian/lembaga negara.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) enggan berkomentar banyak soal revisi UU TNI. Ia baru mau menanggapi bila proses perubahan UU sudah rampung.

"Nanti kalau sudah selesai, baru komentari," kata Jokowi pada Senin (15/5/2023), dikutip dari Kompas.com.

Baca juga: Viral, Video Oknum Prajurit Tendang Ibu-ibu, Ternyata Anggota Kopasgat TNI AU

Baca juga: Identitas Prajurit Gadungan yang Ajak Wanita Foto Studio Terungkap, TNI: Domisili Bandung

Lantas, pasal apa saja yang dinilai kontroversial dalam revisi UU TNI tersebut?

Perluasan jabatan prajurit TNI 

Ada 12 pasal yang diusulkan diubah dan/atau ditambahkan dalam revisi UU TNI. Namun, beberapa di antaranya dinilai sarat kontroversi.

Salah satunya adalah adalah revisi Pasal 47 yang mengatur soal kemungkinan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di berbagai kementerian/lembaga negara.

Berdasarkan Pasal 47 ayat (2), prajurit TNI aktif hanya bisa menduduki jabatan di:

  • Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
  • Kementerian Pertahanan.
  • Sekretariat Militer Presiden.
  • Badan Intelijen Negara (BIN).
  • Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
  • Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan
  • Badan Narkotika Nasional.
  • Mahkamah Agung.

Namun, dengan adanya revisi UU TNI maka prajurit aktif bisa menjabat di:

  • Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  • Staf Kepresidenan.
  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
  • Badan Nasional Pengamanan Perbatasan.
  • Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung.
  • Kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.

Baca juga: Bukan Pertama Kali Terjadi, Mengapa Orang Rela Menjadi TNI Gadungan?

Revisi UU TNI dianggap bangkitkan dwifungsi ABRI

Demo di DPR/MPR Mahasiswa berdatangan di depan Gedung DPR/MPR dengan menyewa bus kota.Mereka menyerukan dihapusnya dwifungsi ABRI dan bubarkan pam swakarsa.ABRI jangan membenturkan mahasiswa dengan masyarakat. Foto diambil pada Rabu (11/11/1998).DOK KOMPAS/JOHNNY TG Demo di DPR/MPR Mahasiswa berdatangan di depan Gedung DPR/MPR dengan menyewa bus kota.Mereka menyerukan dihapusnya dwifungsi ABRI dan bubarkan pam swakarsa.ABRI jangan membenturkan mahasiswa dengan masyarakat. Foto diambil pada Rabu (11/11/1998).

Dilansir dari Kompas.id, revisi Pasal 47 dinilai Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf membangkitkan dwifungsi ABRI.

Ia mengatakan, menempatkan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri.

"Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia (militer) dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan kompetensinya," katanya.

Bila prajurit TNI aktif diberi kesempatan untuk menjabat di kementerian/lembaga negara, Al Araf mengkhawatirkan hal ini menjadi kemunduran di era reformasi.

Ia mengingatkan bahwa TNI yang dulunya bernama ABRI pernah terlibat politik praktis ketika mereka diberi ruang menjabat di kementerian, DPR, dan kepala daerah.

Baginya, perluasan jabatan dalam revisi UU tersebut membuka ruang bagi prajurit TNI untuk berpolitik.

Baca juga: Pasal-pasal yang Diusulkan Diubah dalam Revisi UU TNI: Ada Jabatan Wakil Panglima dan Pensiun Prajurit sampai 60 Tahun

Hubungan TNI dengan presiden

Selain Pasal 47, Pasal 3 ayat (1) juga disorot karena mengatur kedudukan dan hubungan kelembagaan antara TNI dengan presiden.

Pasal 3 ayat (1) yang masih berlaku saat ini berbunyi, "Pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden".

Revisi UU TNI mengubah ayat tersebut menjadi, "TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden".

Menurut pengamat militer dari Center for Intermestic and Diolomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas, usulan perubahan pada Pasal 3 tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Ia menyampaikan, dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan.

"Pasal 10 UU Pertahanan Negara jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI," ujarnya.

"Penggunaan istilah ‘keamanan negara’ juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu atau gray area dan overlapping (tumpang tindih) dengan tugas Polri," sambung Anton.

Baca juga: Viral, Video Prajurit Gadungan Ajak Wanita Foto Studio, Ini Kata TNI

Revisi UU TNI dianggap berbahaya

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memberangkatkan 555 prajurit Batalyon Infanteri Raider 631/Antang ke Papua untuk mengamankan objek vital nasional, PT. Freeport Indonesia.  Upacara pemberangkatan itu dilaksanakan di di lapangan apel Mayonif Raider 631/Antang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (30/3/2023).Dok Puspen TNI Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memberangkatkan 555 prajurit Batalyon Infanteri Raider 631/Antang ke Papua untuk mengamankan objek vital nasional, PT. Freeport Indonesia. Upacara pemberangkatan itu dilaksanakan di di lapangan apel Mayonif Raider 631/Antang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (30/3/2023).

Lebih lanjut, Anton menuturkan bahwa penghilangan narasi posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer dianggap berbahaya.

Terjadinya penghilangan garis komando, kata Anton, dapat membuka ruang bagi terjadinya insubodrinasi militer terhadap pemimpin sipil.

"Belum lagi, ketentuan pelaksanaan operasi militer, baik perang dan non-perang, yang mensyaratkan kebijakan dan keputusan politik negara juga ingin dianulir," tuturnya.

Ia juga menyoroti, ada indikasi rencana revisi UU TNI menginginkan operasi militer selain perang (OMSP) tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara.

"Patut diingat, kebijakan dan keputusan politik negara merupakan payung dasar yang dibutuhkan prajurit di lapangan untuk dapat bergerak leluasa," paparnya.

"Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas dalam aktivitas militer dapat terjaga," sambung Anton.

Baca juga: Usulan Perluasan Jabatan Sipil di Dalam Revisi UU TNI Dinilai Berpotensi Ganggu Karier ASN

Arahan presiden tidak boleh dihapus

Revisi terhadap Pasal 3 ayat (1) UU TNI juga disorot Direktur Imparsial Fuhron Mabruri.

Ia mengatakan, aturan pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di bawah arahan presiden tidak boleh dihapus.

Bagi Gufron, dengan adanya kalusul tersebut maka dapat memperkuat UU tentang Pertahanan Negara.

"Klausul pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di UU TNI sebelumnya dihapus. Klausul itu mestinya tetap ada," kata Gufron dikutip dari Kompas.com.

"Kalau usulan perubahan itu diadopsi, Mabes TNI akan bilang, 'di UU TNI enggak ada ketentuan pengerahan kekuatan TNI harus presiden yang mengotorisasi'. Sementara UU ini aturan hukum organik mereka," imbuhnya.

Baca juga: Ramai soal Warganet Penasaran Hukuman Disiplin di TNI, Apa Saja Jenisnya?

(Sumber: Kompas.com/Ardito Ramadhan, Nirmala Maulana Achmad | Editor: Novianti Setuningsih, Sabrina Asril)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com