Dikutip dari laman DJHAM Kemenkumham, teori aliran Behavioral memandang anak sebagai kertas putih di mana lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi perkembangannya.
Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan korban dari lingkungan psikososial, mulai dari lingkungan keluarga hingga pergaulan di luar rumah.
Pola asuh keluarga secara langsung juga berpengaruh pada kualitas pribadi seorang anak.
Untuk itu, baik anak, anak korban, maupun anak saksi, wajib menggunakan sistem peradilan pidana anak sebagai proses penyelesaian perkara.
Sistem peradilan pidana anak sendiri adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Nantinya, perkara pidana anak yang berhadapan dengan hukum akan disidangkan di pengadilan pidana anak di lingkungan peradilan umum.
Baca juga: Apa Itu Hukum Pidana?
Berbeda dengan penanganan perkara pidana orang dewasa, UU SPPA menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Konsekuensi dari keadilan restoratif adalah mengedapankan kepentingan terbaik untuk anak dari pada kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, merujuk pada Pasal 2 UU SPPA, sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:
Di sisi lain, proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan wajib diupayakan menggunakan sistem diversi.
Diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Penggunaan diversi bertujuan untuk:
Kendati demikian, diversi dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.