Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Ironi "Penyelesaian Damai" Kasus Remaja Diperkosa Beramai-ramai

Kompas.com - 17/01/2023, 12:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kasus Choi akhirnya berhenti begitu saja dengan uang sebesar 70 juta won lebih.

Apa Itu Gang Rape?

Terjadinya perkosaan yang dilakukan beramai-ramai (gang rape) menimbulkan tanda tanya besar. Apa yang menjadi pemicunya. Dari sisi psikologi sosial dan remaja, gang rape adalah bentuk kejahatan seksual terhadap satu korban di mana pelakunya berjumlah lebih dari satu atau banyak orang.

Menurut seorang psikolog forensik, Direktur Eksekutif New York Forensics, NG Berrill, kemunculan perilaku itu pada awalnya tidak terencana, tapi didorong oleh rasa solidaritas yang tumbuh antar anggota kelompok. Konsekuensi seorang anggota geng yang tidak mengikut aturan kelompok akan dianggap 'pengecut', yang dapat meruntuhkan dignitas dan harga dirinya.

Tak sedikit kasus kejahatan jenis ini di Indonesia. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan kasus gang rape semakin banyak terjadi sejak 2015. Kasus yang berhasil dideteksi pada 2015, setidaknya meliputi 44 kasus dengan 9 korban meninggal dunia; di tahun 2016 terdapat 82 kasus dengan 11 korban meninggal; dan pada 2017 terdapat 26 kasus dengan 3 korban meninggal.

Baca juga: India Kembali Diguncang Kasus Gang Rape

Kasus-kasus ini mengerikan. Korbannya sering menimpa remaja bahkan anak-anak. Demikian juga para pelakunya, dalam kondisi masa transisi, remaja dan anak-anak masih labil, dari sisi cara berpikir dan sisi emosionalnya. Mereka rentan untuk berperilaku negatif tanpa pertimbangan nalar dan tidak memahami konsekuensi hukumnya.

Apalagi jika latar belakang pola asuh keluarga, kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat menjadi pemicu kemunculan pelaku kejahatan semacam itu atau korban dari kejahatan itu.

Ada pandangan masyarakat, di mana laki-laki dikonstruksikan secara sosial untuk selalu menjadi 'pemenang' dalam semua hal, sehingga perannya harus dominan dan sentral. Inilah sesuatu yang dianggap menyalahi akal sehat, karena terindikasi kelompok lebih mengkuatirkan reputasi kelompok daripada individu secara personal.

Menurut sosiolog Beth Quinn dari University Colorado, hal itu bukan sesuatu yang aneh, karena gang rape merupakan bentuk nyata dari maskulinitas hegemonik untuk mengontrol atau mendominasi korban. Akibat adanya dominasi nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang memandang perempuan dan anak perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, yang secara sosial politik tidak memiliki kontrol kuasa.

Seolah dengan privilese yang mereka miliki berhak mengontrol dan mendominasi korban, melalui tindak pemerkosaan yang mereka lakukan. Ciri khas tindakan kekerasan ini para pelaku melakukan kejahatan seksual secara bergilir dan mengamati pelaku lain yang sedang melakukan aksinya tanpa ada rasa bersalah.

Perilaku ini dikenal dengan "bystander effect" atau adanya sikap apatis akut dari pelaku yang tidak berperikemanusiaan. Apa yang menjadi pemicunya. Salah satunya adalah hilangnya rasa empati masyarakat terhadap tindak perkosaan yang terjadi.

Pembiaran itu merupakan budaya permisif yang terbangun dalam masyarakat yang mengarah pada pelangggengan terhadap kekerasan, yang dipicu oleh perubahan sosial dan tekanan ekonomi. Sebab lainnya, terdapat praktik "blaming the victim", di mana korban justru sering disalahkan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya.

Seperti apa yang dialami Choi dalam kasus Miryang. Jika terjadi kasus, korban dipersalahkan sebagai pemicu kejadian.

Apa Solusinya

Gang rape merupakan tindak kekerasan yang sangat kompleks dan faktor penyebabnya bersifat multidimensi. Ketika masyarakat semakin kehilangan empati dan tidak memiliki rasa kesetaraan kepada sesama, penyelesaiannya membutuhkan mitigasi yang tidak sederhana. Mitigasi dilakukan secara sinergis dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, parlemen, akademisi, ulama, dan masyarakat.

Intervensi strategis dapat dilakukan dengan membangun kesadaran publik atas segala bentuk kejahatan seksual dengan segala konsekuensinya secara sosial dan hukum. Tindakan hukum yang tegas atas pelaku kejahatan dengan memberikan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Hal itu perlu agar ada efek jera bagi pelaku dan tidak ada impunitas bagi pelaku yang melanggengkan kejahatan seksual.

Kita juga harus mendorong tumbuhnya kesadaran publik agar melaporkan segala tindak kejahatan yang dialaminya. Kesadaran ini juga harus didukung oleh peningkatan pemahaman kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan apabila menjadi korban, karena hak-hak mereka juga dilindungi oleh negara.

Penguatan fungsi keluarga dan komunikasi dengan menjadikan publik sebagai "community watch" sekaligus "advocate" dalam menciptakan ruang dan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Keterlibatan publik menjadi faktor penting agar kejahatan jenis ini dapat terdeteksi dengan cepat dan korban mendapatkan penanganan, serta bantuan hukum yang diharapkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com