Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ironi "Penyelesaian Damai" Kasus Remaja Diperkosa Beramai-ramai

Penyelesaian awal kasus itu seakan menempuh model keadilan restoratif (resotarive justice), dengan perjanjian damai tertulis. Pihak korban menerima uang kompensasi dari para pelaku setelah dimediasi salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Brebes. Jumlah uang yang diterima hanya separuh dari yang disepakati.

Mengapa pihak LSM yang jadi penengah tidak mendorong kasus itu agar jangan berhenti tetapi justru "memilih" penyelesaian “di bawan tangan”?

Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Brebes baru mengetahui kasus itu saat melakukan pendampingan dan mengadvokasi keluarga korban.

Tentu saja hal ini menjadi preseden buruk dalam penegakan keadilan bagi para korban kekerasan seksual, karena penyelesaian yang ditempuh tidak tidak memberikan efek jera bagi para pelaku. Apalagi jika penyelesaian itu terindikasi menggunakan titik lemah ketidaktahuan hukum dari keluarga korban, atau adanya intimidasi atau tekanan.

Saat kasus terjadi, mediasi digelar di rumah seorang kepala desa di Kecamatan Tanjung. Dalam surat kesepakatan, keluarga korban bersedia dituntut jika melanjutkan kasus ini ke jalur hukum.

Beruntung ada sekelompok masyarakat yang bertindak sebagai "community watch", dan melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus tersebut kini ditangani polisi.

Tragedi Miryang

Peristiwa diperkosa secara beramai-ramai (gang rape) yang tragis dan paling menyita perhatian publik di tahun 2004 adalah kasus pemerkosaan di Miryang, Korea Selatan, yang menimpa Choi (14 tahun). Sebagai pembelajaran penting bagi publik, kisah Miryang Gang Rape ini kemudian diangkat dalam film Hang Gong Ju (2013).

Film itu berkisah tentang gadis remaja (Gong Ju), korban pelecehan seksual yang tengah mencari sekolah baru. Remaja itu berusaha bangkit dan beradaptasi dengan teman-teman barunya.

Sayangnya, Gong Ju justru dikejar-kejar para orang tua pelaku yang menuntut agar anaknya dibebaskan, karena sudah memberikan kompensasi berupa uang damai.

Dalam kisah sebenarnya, keluarga korban melakukan segala cara untuk mendapat keadilan dengan berbicara kepada polisi perempuan dengan harapan agar dapat mengerti apa yang dirasakan korban. Ternyata yang terjadi justru para polisi tersebut hanyalah melakukan "ping pong."

Kasus itu semakin tidak menentu dan tidak menemukan titik terang.  Yang terjadi justru keluar pernyataan yang menyudutkan dari mulut salah satu polisi, yang semakin membuat korban terpukul.

"Apakah kamu mencoba menarik perhatian para pria? Anda merusak reputasi Miryang. Anak laki-laki yang akan memimpin kota di masa depan sekarang semuanya ditangkap berkat Anda. Apa yang akan kamu lakukan? ... Saya takut putri saya akan menjadi seperti Anda," kata polisi.

Lebih fatal lagi, korban dipertemukan dengan para pelaku, tanpa cermin satu arah, sehingga membuat korban depresi berat dan harus menjalani terapi psikologi.

Namun peristiwa itu berbuntut penetapan oleh pengadilan. Petugas poliri dianggap bersalah dan diharuskan membayar kompensasi sebesar 70 juta won.

Kasus Choi akhirnya berhenti begitu saja dengan uang sebesar 70 juta won lebih.

Apa Itu Gang Rape?

Terjadinya perkosaan yang dilakukan beramai-ramai (gang rape) menimbulkan tanda tanya besar. Apa yang menjadi pemicunya. Dari sisi psikologi sosial dan remaja, gang rape adalah bentuk kejahatan seksual terhadap satu korban di mana pelakunya berjumlah lebih dari satu atau banyak orang.

Menurut seorang psikolog forensik, Direktur Eksekutif New York Forensics, NG Berrill, kemunculan perilaku itu pada awalnya tidak terencana, tapi didorong oleh rasa solidaritas yang tumbuh antar anggota kelompok. Konsekuensi seorang anggota geng yang tidak mengikut aturan kelompok akan dianggap 'pengecut', yang dapat meruntuhkan dignitas dan harga dirinya.

Tak sedikit kasus kejahatan jenis ini di Indonesia. Komnas Perlindungan Anak menyebutkan kasus gang rape semakin banyak terjadi sejak 2015. Kasus yang berhasil dideteksi pada 2015, setidaknya meliputi 44 kasus dengan 9 korban meninggal dunia; di tahun 2016 terdapat 82 kasus dengan 11 korban meninggal; dan pada 2017 terdapat 26 kasus dengan 3 korban meninggal.

Kasus-kasus ini mengerikan. Korbannya sering menimpa remaja bahkan anak-anak. Demikian juga para pelakunya, dalam kondisi masa transisi, remaja dan anak-anak masih labil, dari sisi cara berpikir dan sisi emosionalnya. Mereka rentan untuk berperilaku negatif tanpa pertimbangan nalar dan tidak memahami konsekuensi hukumnya.

Apalagi jika latar belakang pola asuh keluarga, kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat menjadi pemicu kemunculan pelaku kejahatan semacam itu atau korban dari kejahatan itu.

Ada pandangan masyarakat, di mana laki-laki dikonstruksikan secara sosial untuk selalu menjadi 'pemenang' dalam semua hal, sehingga perannya harus dominan dan sentral. Inilah sesuatu yang dianggap menyalahi akal sehat, karena terindikasi kelompok lebih mengkuatirkan reputasi kelompok daripada individu secara personal.

Menurut sosiolog Beth Quinn dari University Colorado, hal itu bukan sesuatu yang aneh, karena gang rape merupakan bentuk nyata dari maskulinitas hegemonik untuk mengontrol atau mendominasi korban. Akibat adanya dominasi nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang memandang perempuan dan anak perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, yang secara sosial politik tidak memiliki kontrol kuasa.

Seolah dengan privilese yang mereka miliki berhak mengontrol dan mendominasi korban, melalui tindak pemerkosaan yang mereka lakukan. Ciri khas tindakan kekerasan ini para pelaku melakukan kejahatan seksual secara bergilir dan mengamati pelaku lain yang sedang melakukan aksinya tanpa ada rasa bersalah.

Perilaku ini dikenal dengan "bystander effect" atau adanya sikap apatis akut dari pelaku yang tidak berperikemanusiaan. Apa yang menjadi pemicunya. Salah satunya adalah hilangnya rasa empati masyarakat terhadap tindak perkosaan yang terjadi.

Pembiaran itu merupakan budaya permisif yang terbangun dalam masyarakat yang mengarah pada pelangggengan terhadap kekerasan, yang dipicu oleh perubahan sosial dan tekanan ekonomi. Sebab lainnya, terdapat praktik "blaming the victim", di mana korban justru sering disalahkan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya.

Seperti apa yang dialami Choi dalam kasus Miryang. Jika terjadi kasus, korban dipersalahkan sebagai pemicu kejadian.

Apa Solusinya

Gang rape merupakan tindak kekerasan yang sangat kompleks dan faktor penyebabnya bersifat multidimensi. Ketika masyarakat semakin kehilangan empati dan tidak memiliki rasa kesetaraan kepada sesama, penyelesaiannya membutuhkan mitigasi yang tidak sederhana. Mitigasi dilakukan secara sinergis dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, parlemen, akademisi, ulama, dan masyarakat.

Intervensi strategis dapat dilakukan dengan membangun kesadaran publik atas segala bentuk kejahatan seksual dengan segala konsekuensinya secara sosial dan hukum. Tindakan hukum yang tegas atas pelaku kejahatan dengan memberikan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Hal itu perlu agar ada efek jera bagi pelaku dan tidak ada impunitas bagi pelaku yang melanggengkan kejahatan seksual.

Kita juga harus mendorong tumbuhnya kesadaran publik agar melaporkan segala tindak kejahatan yang dialaminya. Kesadaran ini juga harus didukung oleh peningkatan pemahaman kepada masyarakat tentang tindakan yang harus dilakukan apabila menjadi korban, karena hak-hak mereka juga dilindungi oleh negara.

Penguatan fungsi keluarga dan komunikasi dengan menjadikan publik sebagai "community watch" sekaligus "advocate" dalam menciptakan ruang dan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Keterlibatan publik menjadi faktor penting agar kejahatan jenis ini dapat terdeteksi dengan cepat dan korban mendapatkan penanganan, serta bantuan hukum yang diharapkan.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/17/123201065/ironi-penyelesaian-damai-kasus-remaja-diperkosa-beramai-ramai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke