Samsung hanya satu contoh dari era baru penambangan sampah di kota-kota akhir-akhir ini. Tren global ini tidak hanya menyerap lapangan kerja, tetapi juga mengurangi emisi karbon dioksida, sangat ramah-lingkungan, sangat efisien, dan sangat hemat.
Angeli Mehta (2019) misalnya menyebut perkiraan Apple bahwa penggunaan tembaga dari daur-ulang sampah elektronik dan listrik (e-waste) di kota-kota, dapat menghindari penggunaan sekitar 60 ribu ton tembaga hasil tambang dari perut bumi per tahun.
Mehta menyebut peluang e-waste; misalnya, tahun 2016, masyarakat global menghasilkan sekitar 45 juta ton e-waste dengan nilai sekitar 55 miliar euro. Jenisnya antara lain emas, perak, platinum, dan palladium.
Dari jumlah itu, sekitar 20 persen dapat didaur ulang. Sisanya, berbentuk sampah-sampah di kota-kota. Jumlah ini belum termasuk sampah pangan, sampah medis, sampah bangunan, dan sampah lainnya.
Di Gusan, Korea Selatan, pabrik daur-ulang sampah elektronik mengekstrak logam khusus bateri mobil listrik. Tenaga kerja dan teknologi di sini tidak menggali tanah dan tidak memurnikan bijih mineral. Tenaga kerja hanya memilah-milah sampah bateri lithiumion dari ponsel dan laptop bekas.
Mengapa Korea Selatan membangun urban mining? Sebab Tiongkok memburu kobalt dan lithium bahan bateri kendaraan listrik di berbagai zona dunia. Akibatnya, harga mineral-mineral ini naik tajam, bahkan pasokan logam utama skala global pun berkurang.
Siasat Korea Selatan sukses. Industri urban mining mineral logam seharga 18,38 miliar dollar diekstrak dari sampah-sampah elektronik tahun 2016. Jumlah itu memasok sekitar 20 persen kebutuhan logam Korea Selatan (Jane Chung et al., 2018).
Akhir-akhir ini, Tiongkok mengandalkan pasokan logam dari Kongo dan Cile melalui penambangan ke perut Bumi. Sedangkan Korea Selatan, misalnya perusahan SungEel HiTech, di kota barat daya Gunsan, mengekstrak sekita 8 ribu ton lithium-ion dan logam dari sampah elektronik per tahun sejak 2018.
Hasilnya, antara lain, 830 ton litium fosfat, 1.000 ton setara logam kobalt, dan 600 ton nikel. Jumlah ini bakal meningkat sejak 2019.
Data Korea Institute of Geoscience and Mineral Resources (milik pemerintah Korea Selatan) menyebut, tahun 2017, Korea Selatan mengimpor 3,5 juta ton nikel; jumlah itu naik 2 persen dari tahun 2016; impor kobalt 13.972 ton tahun 2017. Korea Selatan memilih strategi dan program penambangan sampah di kota-kota guna mengurangi ketergantungan pada pasokan mineral atau logam-logam langka dari impor.
Hingga tahun 2018, menurut data Urban Mining Association (2018) Korea Selatan, jumlah UKM dan UMKM pada sektor urban mining di Korea Selatan, berkisar 150 perusahan.
Kira-kira 20 tahun silam, perusahan Eco-System berdiri di Honjo, sekitar 80 km dari kota Tokyo, Jepang. Perusahan ini mendaur-ulang sampah elektronik dan limbah industri lainnya. E-waste dipilah dan direndam dalam bahan kimia guna menghasilkan logam murni.
Tahun 2018, Eco-System dapat menghasilkan 200-300 kg emas murni per bulan seharga kira-kria 5,9 juta – 8,8 juta dollar AS (Miho Yoshikawa, 2018). Peluang Eco-System sangat besar, seperti logam-logam khusus, misalnya indium, termasuk komponen penting untuk produksi layar komputer, antimom, bismut, televisi panel, dan produk teknologi tinggi lainnya.
Jenis industri seperti Eco-System tentu saja bukan hanya unggul ramah-lingkungan, tetapi juga dapat melibatkan UKM dan UMKM dari masyarakat perkotaan.
Urban mining adalah pilihan strategis dan solusi ramah lingkungan bagi industriindustri elektronik Jepang yang memiliki puluhan juta sampah ponsel dan gadget elektronik per tahun. Di sisi lain, Jepang tidak memiliki sumber daya alam kaya.