Lebih jauh, studi yang dilakukan Sudarmanto dan Meliala (2020) menunjukkan bahwa media sosial menjadi agen sekaligus media pertempuran antara berbagai persepsi tentang kebenaran. Media sosial menghasilkan narasi-narasi berbahaya yang dapat menimbulkan kekerasan, baik fisik maupun simbolik.
Kekerasan tersebut diperuncing dengan dijadikannya suku, agama, ras, antar-golongan (SARA) sebagai komoditas dalam politik elektoral yang menghasilkan polarisasi dalam masyarakat.
Karena itu, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi persoalan intoleransi tersebut adalah dengan memajukan moderasi beragama sebagai pendekatan dalam pemahaman dan praktik keagamaan. Urgensi moderasi beragama semakin tinggi di era masyarakat digital di mana segala hal terhubung melalui internet.
Kementerian Agama (2019) mengartikan moderasi beragama sebagai cara pandang dan perilaku untuk berada di tengah-tengah yang menyeimbangkan pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
Selanjutnya, terdapat beberapa strategi konseptual dan praktis yang dapat dilakukan oleh semua kalangan, baik dari individu maupun organisasi, baik dari aktor negara maupun non-negara dalam memajukan pendekatan moderasi beragama di era internet dan media sosial.
Baca juga: Bicara Moderasi Beragama, Menag Cerita Banyak Negara Iri dengan Indonesia
Dari sisi konseptual, pada intinya perlu ada perubahan strategi komunikasi keagamaan yang lebih terbuka dan mudah diakses bagi kalangan anak muda (millennial). Secara praktis, hal ini salah satunya dapat dilakukan melalui pengemasan materi-materi keagamaan dari para tokoh agama dalam bentuk konten yang mudah dipahami (Kemenag, 2019).
Strategi berikutnya adalah melalui peningkatan kemampuan kontra-narasi dan dialog. Strategi kontra-narasi dilakukan melalui bantahan terhadap hasutan kebencian melalui humor, meme, karikatur, ataupun pesan damai (Yayasan Paramadina, 2021).
Strategi itu bertujuan untuk merebut ruang-ruang publik yang sesak dengan hasutan kebencian. Serta tentu saja yang perlu terus dilakukan adalah dialog, baik formal maupun informal dengan para pihak yang berbeda pandangan.
Selain itu, apabila dikaitkan kembali dengan kerawanan posisi ideologi Pancasila maka setidaknya kita perlu menguasai kemampuan literasi digital untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila (Kemenkominfo, Japelidi, Siberkreasi, 2021).
Kemampuan-kemampuan tersebut adalah kemampuan memahami, menghasilkan (produksi), menyebarkan (distribusi), partisipasi, dan kolaborasi. Kita perlu untuk memahami nilai-nilai Pancasila, menghasilkan konten yang selaras dengan nila-nilai Pancasila, mendistribusikan konten-konten tersebut, serta berpartisipasi aktif dalam komunitas yang menumbuhkembangkan nilai-nilai Pancasila.
Strategi dan kompetensi tersebut sangat penting untuk menjaga relevansi Pancasila dalam konteks kekinian. Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022 yang mengajak kita semua untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan masyarakat dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.