Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Permana
Praktisi Brand

Praktisi Brand, Komunikasi dan Omnichannel

Tiga Tantangan Omnichannel di Indonesia

Kompas.com - 23/08/2022, 15:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK yang menyebutkan bahwa omnichannel adalah the future of retail. Berbagai laporan riset dan penelitian menyebutkan bahwa peranan teknologi berperan penting dalam proses omnichannel ini, terutama di bidang ritel.

Pengalaman belanja melalui integrasi online dan offline terus berkembang, dari cara membayar scan and go, pemakaian artificial intelligent, electronic display, belanja lewat aplikasi, teknologi robot dan sebagainya memberikan kenyamanan bagi kita sebagai konsumen.

Perkembangan teknologi telepon pintar, media sosial, dan internet memungkinkan hal itu terjadi. Perubahan teknologi yang mengubah perilaku konsumen telihat dari sejak industri 3.0 dengan ditemukannya komputer dan internet.

Baca juga: UMKM Mau Tingkatkan Penjualan? Coba Strategi Omnichannel

Perubahan itu terus berkembang dengan masuknya era industri 4.0 yang mengubah era internet ke era IOT (internet of things) dan big data di mana pencarian data, informasi dan pembelian produk atau jasa dilakukan melalui internet. Peran teknologi terutama melalui internet, media sosial, dan telepon pintar memberikan pengalaman berbeda saat berbelanja melalui omnichannel.

Terjadi proses optimalisasi dari integrasi saluran penjualan dan terjadinya interaksi merek dengan konsumen dengan tujuan untuk memberikan nilai lebih kepada konsumen melalui peran teknologi.

Omnichannel bukan multi-channel

Penjualan melalui lebih dari satu saluran (channel) penjualan sering disebut sebagai multi-channel. Berbagai saluran penjualan ini sebagai contact points yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara konsumen dan perusahaan.

Omnichannel berbeda dengan multi-channel karena di dalam multi-channel tidak terjadi integrasi secara menyeluruh semua saluran penjualan, selayaknya dalam omnichannel.

Dalam omnichannel, karena channel-channel terintegrasi dalam satu sistem, konsumen dapat mengakses berbagai channel tersebut dalam satu tempat. Sementara pada multichannel, orang sulit berpindah channel karena tidak teringrasi.

 

Tim Mason di dalam bukunya Omnichannel Retail menyebutkan bahwa omnichannel berasal dari kata latin “omni” yang berarti “all or one” yang merupakan satu kesatuan pengalaman konsumen saat mereka berbelanja online ataupun offline.

Dalam konsep itu, konsumen berada di tengah-tengah untuk menikmati pengalaman belanja yang menyeluruh dan memungkinkan konsumen mempunyai pengalaman belanja tanpa gangguan (seamless shopping experience) yang menghubungkan belanja online dan offline.

Di Indonesia, multi-channel masih menguasai pasar ritel, para pemilik merek ritel masih berkutat dengan penjualan online dan offline secara multi-channel. Mereka masih mencari keseimbangan dari kedua kanal penjualan itu.

Banyak pemilik merek ritel yang beranggapan bahwa mereka sudah menjalankan omnichannel dengan menghadirkan merek mereka di kanal online dan offline. Dengan mempunyai toko fisik dan menjual online melalui website ataupun mempunyai official store secara e-commerce, mereka merasa sudah melakukan omnichannel.

Padahal yang mereka lakukan masih dalam proses multi-channel karena belum terjadinya integrasi pengalaman belanja online dan offline secara berkesinambungan dan tidak terputus.

Kejadian menarik terjadi di Indonesia di mana beberapa pemilik merek ritel yang awalnya membangun bisnisnya lewat online ataupun yang berbisnis e-commerce, sekarang mulai membangun kehadiran merek mereka secara offline. Mereka membangun pop-up store, toko fisik, ataupun pop-up booth untuk memberikan pengalaman yang berbeda kepada konsumen dan memberikan kepastian mengenai kualitas barang sebelum konsumen memutuskan untuk membeli.

Mereka berpendapat bahwa konsumen mempunyai kebebasan untuk membeli lewat kanal penjualan yang konsumen suka. Yang penting bagi mereka adalah konsumen tetap membeli di toko mereka, tidak masalah melalui kanal penjualan manapun.

Pemikiran itu merupakan langkah awal dari omnichannel.

Tiga tantangan omnichannel di Indonesia

Meningkatnya pemanfaatan internet, media sosial dan pemakaian telepon pintar oleh konsumen di Indonesia memberikan kesempatan yang baik bagi para pemilik merek ritel untuk beradaptasi dan memberikan pengalaman belanja yang baik bagi konsumen. Tantangan yang muncul biasanya terbentur dengan pola pikir lama yang sudah terjadi selama ini.

1. Mindset 

Para pemilik merek ritel masih berpikiran bahwa online dan offline merupakan dua kanal yang berbeda dan perlu diperlakukan berbeda. Mereka memasang target yang berbeda untuk masing-masing kanal, bahkan tim online dan offline saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan konsumen masing-masing.

Baca juga: Adaptasi Digital Generasi X dalam Proses Omnichannel

Mereka lupa bahwa mereka menjual merek yang sama dan konsumen bebas memilih untuk membeli dari kanal penjualan yang lebih nyaman. Mindset ini masih banyak terjadi sehingga persaingan yang terjadi lebih kepada persaingan internal daripada persaingan dengan merek lain.

2. Operasional

Para pemilik merek ritel masih fokus kepada sales, belum berdasarkan program pemasaran berdasarkan data konsumen. Banyak perusahaan yang sudah mempunyai data primer konsumen dan mereka masih bingung apa yang perlu dilakukan terhadap data ini.

Integrasi data yang didapatkan melalui kanal online dan offline seharusnya menjadi sumber utama untuk membangun hubungan lebih dengan konsumen atau biasa disebut sebagai relationship marketing yang bisa dioptimalkan mulai dari proses perekrutan, program mempertahankan pelanggan, sampai dengan memperbesar potensi penjualan dengan program cross-sell/up-sell dari data pelanggan.

3. Teknologi

Teknologi yang terus berkembang membutuhkan investasi yang besar dalam melakukan implementasi teknologi di dalam proses penjualan. Anggapan ini bukan menjadi halangan untuk memulai proses omnichannel.

Omnichannel bisa dimulai dari hal yang kecil terlebih dahulu, tidak semua memerlukan investasi yang besar. Contoh yang paling mungkin dilakukan adalah dengan membuat toko fisik menjadi digital enable dengan memberikan akses wifi saat konsumen berada di dalam toko sehingga konsumen bisa diarahkan untuk mengakses website dari dalam toko untuk mencari barang secara online dan meminta kepada penjaga toko untuk barang yang akan mereka beli, belum lagi jika ditambahkan integrasi promosi antara online dan offline.

Jangan menjadikan investasi sebagai alasan untuk tidak memulai omnichannel karena omnichannel bisa dimulai dari hal kecil dan bisa terus dikembangkan sesuai perkembangan usaha.

Mulailah dengan perubahan mindset internal, jangan biarkan kompetitor memulai terlebih dahulu. Ingat bahwa perilaku konsumen sudah berubah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com