Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompasianer Suprihati

Blogger Kompasiana bernama Suprihati adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Krisis Gandum Bisa Jadi Momentum Kebangkitan Mi Instan Berbahan Lokal

Kompas.com - 12/08/2022, 14:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONFLIK militer Rusia dan Ukraina mengguncang banyak aspek kehidupan. Konflik itu bukan hanya urusan elite politik dunia, tetapi telah berdampak pada rakyat konsumen mi instan. Pasalnya, konflik itu berkaitan dengan rantai pasar gandum dari eksportir gandum dunia.

Indikasi bakal melambungnya harga mi instan menjadi salah satu butir keterangan pers Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Juli 2022. Pangan adalah bagian dari pendukung stabilitas nasional suatu negara.

Baca juga: Imbas Gandum Mahal, Benarkah Harga Mi Instan Bakal Naik Tiga Kali Lipat?

Tantangan di sisi lain bisa jadi peluang. Konflik Rusia dengan Ukraina yang berdampak pada persediaan gandum bisa menjadi momentum bagi kebangkitan mi instan berbahan lokal guna mendukung kedaulatan pangan.

Mi dan perubahan paradigma pangan bulir

Indonesia tercatat sebagai negara konsumen mi instan terbesar (peringkat kedua setelah China), versi World Instant Noodles Association (WINA) tahun 2021. Sebanyak 13,27 miliar bungkus mi instan dikonsumsi (databoks.katadata.co.id).

Berdasar pendekatan sederhana populasi penduduk Indonesia yang sebanyak 273 juta jiwa, rata-rata setiap jiwa menyantap minimal satu bungkus mi instan per minggu.

Dengan mengulik sejarah, mi bukanlah jenis pangan asli Indonesia. Mi merupakan adopsi dari China yang dibawa masuk oleh imigran dari daerah itu. Mi kemudian beradaptasi dengan budaya setempat.

Sebagai sumber karbohidrat, mi berawal dari tepung. Adonan digiling menjadi pipih, dilanjutkan dengan pemotongan ataupun cetak menjadi semacam pita dengan variasi gilig silindris panjang demi alasan kepraktisan.

Terjadilah perubahan paradigma wujud pangan karbohidrat sesuai zaman. Awalnya pangan karbohidrat kita berupa bulir (grain) seperti padi, jagung, sorghum. Saat inovasi pangan dengan komposisi seimbang pun tetap mengadopsi pola butir. Dulu ada beras Tekad, adonan ketela, kacang dan (d)jagung yang dikemas dalam wujud butir.

Walau ada wujud pangan karbohidrat berupa tepung (flour), umumnya masuk dalam kelompok penganan, seperti aneka bubur pun penganan tradisional, hingga kue dan roti. Serasa belum makan kalau belum konsumsi pangan yang bentuk bulir.

Beberapa daerah memiliki budaya konsumsi karbohidrat dalam wujud pangan dari tepung, seperti  tepung sagu, tepung jagung, juga ubi kayu. Masyarakat ini tidak fanatik terhadap pangan non-bulir.

Masuk dan diterimanya budaya makan mi telah mengubah paradigma pangan bulir. Wujud mi ternyata dapat diterima sebagai komponen pangan kita. Apalagi dalam era industrialisasi masal, mi instan mudah ditemui dan disukai banyak kalangan.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berupa tepung dari bulir gandum kini berpotensi terhambat (persediaan dan harga) karena gandum masih diimpor. 

Kembali ke mi dengan bahan utama tepung. Mengapa kita tidak mengambil filosofi dasarnya saja, yaitu mengombinasikan tepung terigu dengan aneka tepung lokal untuk membuat mi? Tepung terigu menjadi layaknya lokomotif yang mengandeng gerbong aneka tepung lokal yang melimpah di Indonesia.

Baca juga: Disebut Bakal Naik 3 Kali Lipat, Cek Harga Mi Instan di Pasar Baru Bekasi

Sementara tetap menggunakan komponen tepung terigu, bukan menggantinya seratus persen. Perlu beberapa karakteristik penguat mi seperti kandungan gizi, elastisitas, dan kelenturan. Pastinya akan muncul aneka karakter mi berbahan lokal, saling melengkapi ataupun menjadi dasar pemilihan uji preferensi masyarakat.

Mi berbahan lokal

Sejak pangan mi diterima secara lidah dan budaya masyarakat Indonesia, aneka upaya amati tiru modifikasi (ATM) dilakukan. Kemelimpahan ragam sumber karbohidrat dicoba. Penepungan menjadi langkah awal perakitan teknologi mi di Nusantara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com