Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Krisis Gandum Bisa Jadi Momentum Kebangkitan Mi Instan Berbahan Lokal

Indikasi bakal melambungnya harga mi instan menjadi salah satu butir keterangan pers Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Juli 2022. Pangan adalah bagian dari pendukung stabilitas nasional suatu negara.

Tantangan di sisi lain bisa jadi peluang. Konflik Rusia dengan Ukraina yang berdampak pada persediaan gandum bisa menjadi momentum bagi kebangkitan mi instan berbahan lokal guna mendukung kedaulatan pangan.

Mi dan perubahan paradigma pangan bulir

Indonesia tercatat sebagai negara konsumen mi instan terbesar (peringkat kedua setelah China), versi World Instant Noodles Association (WINA) tahun 2021. Sebanyak 13,27 miliar bungkus mi instan dikonsumsi (databoks.katadata.co.id).

Berdasar pendekatan sederhana populasi penduduk Indonesia yang sebanyak 273 juta jiwa, rata-rata setiap jiwa menyantap minimal satu bungkus mi instan per minggu.

Dengan mengulik sejarah, mi bukanlah jenis pangan asli Indonesia. Mi merupakan adopsi dari China yang dibawa masuk oleh imigran dari daerah itu. Mi kemudian beradaptasi dengan budaya setempat.

Sebagai sumber karbohidrat, mi berawal dari tepung. Adonan digiling menjadi pipih, dilanjutkan dengan pemotongan ataupun cetak menjadi semacam pita dengan variasi gilig silindris panjang demi alasan kepraktisan.

Terjadilah perubahan paradigma wujud pangan karbohidrat sesuai zaman. Awalnya pangan karbohidrat kita berupa bulir (grain) seperti padi, jagung, sorghum. Saat inovasi pangan dengan komposisi seimbang pun tetap mengadopsi pola butir. Dulu ada beras Tekad, adonan ketela, kacang dan (d)jagung yang dikemas dalam wujud butir.

Walau ada wujud pangan karbohidrat berupa tepung (flour), umumnya masuk dalam kelompok penganan, seperti aneka bubur pun penganan tradisional, hingga kue dan roti. Serasa belum makan kalau belum konsumsi pangan yang bentuk bulir.

Beberapa daerah memiliki budaya konsumsi karbohidrat dalam wujud pangan dari tepung, seperti  tepung sagu, tepung jagung, juga ubi kayu. Masyarakat ini tidak fanatik terhadap pangan non-bulir.

Masuk dan diterimanya budaya makan mi telah mengubah paradigma pangan bulir. Wujud mi ternyata dapat diterima sebagai komponen pangan kita. Apalagi dalam era industrialisasi masal, mi instan mudah ditemui dan disukai banyak kalangan.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berupa tepung dari bulir gandum kini berpotensi terhambat (persediaan dan harga) karena gandum masih diimpor. 

Kembali ke mi dengan bahan utama tepung. Mengapa kita tidak mengambil filosofi dasarnya saja, yaitu mengombinasikan tepung terigu dengan aneka tepung lokal untuk membuat mi? Tepung terigu menjadi layaknya lokomotif yang mengandeng gerbong aneka tepung lokal yang melimpah di Indonesia.

Sementara tetap menggunakan komponen tepung terigu, bukan menggantinya seratus persen. Perlu beberapa karakteristik penguat mi seperti kandungan gizi, elastisitas, dan kelenturan. Pastinya akan muncul aneka karakter mi berbahan lokal, saling melengkapi ataupun menjadi dasar pemilihan uji preferensi masyarakat.

Mi berbahan lokal

Sejak pangan mi diterima secara lidah dan budaya masyarakat Indonesia, aneka upaya amati tiru modifikasi (ATM) dilakukan. Kemelimpahan ragam sumber karbohidrat dicoba. Penepungan menjadi langkah awal perakitan teknologi mi di Nusantara.

Substitusi sebagian tepung terigu dengan tepung ubi kayu/singkong, ketela rambat, jagung, waluh atau labu hingga talas. Hal itu bisa dikembangkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dengan dukungan pendekatan ABGC (Academician, Business, Government, Community).

Akademisi, pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat bersinergi merakit teknologi, mendukung dan memfasilitasi iklim usaha. Masyarakat mengawalnya hingga produk menjadi milik bangsa dan bangga mengonsumsinya dalam keseharian.

Mi mocaf ataupun mikong mewakili mi instan berbahan campuran terigu dan tepung ubi kayu. Sumber daya singkong yang melimpah dan teknologi tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) menyediakan bahan dasarnya.

UMKM Rumah Ketela di sekitar Candi Borobudur, Jawa Tengah, membuktikan dapat memproduksi mi setelah mendapat dampingan dari instansi terkait. Balai Penelitian Serealia di Maros, Sulawesi Selatan (bagian dari Badan Litbang Pertanian Kementan) menghasilkan teknologi migung, yaitu mi dengan bahan dasar campuran terigu dan jagung.

Produk itu juga potensial dikembangkan untuk daerah dengan masyarakat yang akrab konsumsi jagung.

Balitkabi Malang (Jawa Timur) menghasilkan varietas ubi jalar berwarna kuning keemasan dan ada yang ungu cerah memikat. Itu bisa menjadi pewarna untuk mi, tidak perlu perwana buatan.

Pendekatan budaya dibutuhkan untuk sosialisasinya. Dari uji organoleptik, mi berbahan ubi jalar kuning lebih dapat diterima panel pewakil masyarakat daripada warna ungu. Mungkin secara temurun lebih dikenal mi berwarna kuning.

Waluh atau labu kuning menjadi kandidat bahan lokal yang disukai. Warna kuning keemasan, kandungan beta karotin yang bersifat antioksidan menjadi nilai tambahnya. Sangat terbuka dengan inovasi untuk peningkatan kualitas hingga tampilan agar dapat diterima dengan masyarakat.

Menarik mengulik hasil penelitian Balitkabi Malang untuk inovasi mi berbahan lokal tepung talas. Talas yang menjadi makanan pokok beberapa masyarakat di Papua. Karakteristik tepung talas dengan kadar protein rendah disiasati dengan maksimal substitusi 25 persen tepung talas dalam terigu. Hal itu membuka peluang uji nilai gizi, juga komposisi dengan tepung lain yang memiliki protein lebih tinggi.

Itu hanya beberapa contoh. Sangat terbuka untuk pengembangan lebih lanjut yang disesuaikan dengan ketersediaan materi yang ada di berbagai daerah.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/12/144748565/krisis-gandum-bisa-jadi-momentum-kebangkitan-mi-instan-berbahan-lokal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke