Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Ahmad Basarah dan Ijtihad Pengujian UU Berdasarkan Pancasila

Kompas.com - 08/08/2022, 09:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lebih lanjut, Basarah menjelaskan pemahaman Pancasila sebagai sumber segala sumber ini berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Pada satu sisi, UU ini tidak menempatkan Pancasila sebagai bagian dari hierarki norma hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1), di mana hierarki norma hukum meliputi; UUD NRI 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam hierarki norma hukum ini, tidak terdapat Pancasila. Pada saat bersamaan, UU PPP tersebut menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Artinya, UU tersebut sudah tepat meletakkan Pancasila sesuai statusnya sebagai norma dasar negara, bukan sebagai norma hukum.

Kedua, berdasarkan fakta hukum bahwa Pembukaan UUD ditetapkan sebagai bagian dari UUD. Hal ini ditetapkan dalam ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi, “Dengan ditetapkannya perubahan UUD ini, UUD Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”

Dari aturan ini bisa dipahami bahwa jika Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD, sedangkan Pembukaan merupakan bagian dari konstitusi, maka Pancasila merupakan bagian dari konstitusi. Hal ini tentu bertentangan dengan status Pancasila sebagai norma dasar negara yang melampaui konstitusi.

Dalam kaitan ini proses amandemen terhadap UUD memang tidak merambah pada Pembukaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 yang membatasi perubahan terhadap UUD hanya terhadap pasal-pasalnya, yakni, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR.”

Namun menurut Basarah, karena ketentuan tersebut terdapat dalam pasal, maka ketentuan tersebut bisa diubah berdasarkan mekanisme dalam Pasal 37 ayat (1) UUD itu sendiri. Artinya, jika 1/3 anggota MPR sepakat mengubah ketentuan perubahan UUD termasuk perubahan Pembukaan, hal tersebut bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, maka Pancasila yang diasumsikan terdapat dalam Pembukaan pun berubah. (Basarah, 2017: 68-71)

Menurut Basarah, perubahan ini pernah terjadi dalam sejarah konstitusi kita. Yakni dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950), di mana rumusan sila-sila Pancasila mengalami perubahan dari rumusan UUD 1945.

Di Pembukaan Konstitusi RIS, sila-sila Pancasila berbunyi; Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUDS 1950 pun rumusan sila-sila tersebut sama dengan Konstitusi RIS.

Dalam pemahaman Basarah, jika Pancasila termuat dalam Pembukaan UUD, maka ia pernah mengalami perubahan di dua konstitusi tersebut. Padahal dasar negara seharusnya tidak berubah.

Baca juga: 4 Pengertian Pancasila Menurut Para Ahli

Pertanyaannya, dimanakah letak eksistensial Pancasila sebagai norma dasar negara? Menurut Basarah, eksistensi Pancasila sebagai norma dasar negara terletak pada ranah abstrak yang dibentuk secara historis, dalam proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila.

Proses historis ini terjadi pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) hingga sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945. Inilah yang membuat Basarah, di berbagai paparannya menegaskan bahwa pemahaman terhadap Pancasila haruslah sesuai dengan “maksud para pembentuk Pancasila”.

Konsep Pancasila yang bersifat historis ini berdampak pada metode penempatan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU yang bersifat interpretatif, melalui penafsiran konstitusi (judicial interpretation) berdasarkan interpretasi prinsipal (principle).

Penyambungan historis

Dalam kaitan ini, terlihat Basarah mengalami kegelisahan terkait keterputusan antara rumusan final Pancasila dengan rumusan awal Pancasila. Hal ini nampak dalam penolakannya terhadap anggapan bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI.

Menurut dia hal ini tidak tepat, karena tugas PPKI tidak mengesahkan Pancasila, melainkan mengesahkan UUD 1945, serta melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Itulah mengapa tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi.

Sedangkan Hari Lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni sebagaimana ditetapkan oleh Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Seperti diketahui, 1 Juni 1945 ialah hari pidato bersejarah Soekarno dalam mengusulkan Pancasila sebagai filsafat dasar negara.

Kegelisahan Basarah ini beralasan, sebab sejak Orde Baru, terjadi pemutusan antara Pancasila dengan sumber sejarah dan pemikirannya. Hal ini dilakukan melalui penempatan rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai satu-satunya “Pancasila yang otentik”, terpisah dari proses historis pembentukannya.

Prof. Nugroho Notosusanto dalam Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981) misalnya, menegaskan bahwa Pancasila hanyalah rumusan yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk keperluan ini, ia mengutip tiga macam TAP MPRS/MPR, yakni (1); TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum; (2) TAP MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk TAP MPRS; serta (3) TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).

Menurut Notosusanto, ketiga TAP MPRS/MPR ini menegaskan bahwa dasar negara adalah Pancasila, dan Pancasila tersebut termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 (Notosusanto, 1981: 14).

Melalui penegasan bahwa Pancasila adalah (hanyalah) lima sila yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD, maka rumusan-rumusan sebelumnya, yakni rumusan 1 Juni 1945 dan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bukanlah Pancasila. Pemutusan inilah yang ditolak Basarah, yang membuatnya merumuskan argumentasi yuridis untuk menyatakan bahwa Pancasila tidak terdapat dalam Pembukaan UUD, melainkan dalam dimensi abstrak sebagai norma dasar negara.

Dalam kaitan ini, Notosusanto sebenarnya alpa tidak komprehensif (tidak jujur) dalam membaca TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Sebab dalam Memorandum DPR-GR tersebut, dinyatakan bahwa Pembukaan UUD yang di dalamnya termuat rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945, dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, serta dijiwai oleh pidato Soekarno tentang Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com