Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Ahmad Basarah dan Ijtihad Pengujian UU Berdasarkan Pancasila

Kompas.com - 08/08/2022, 09:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ini berarti, rumusan final 18 Agustus tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kesatuan saling terjiwai oleh Piagam Jakarta dan pidato 1 Juni Soekarno. Jika konstruksi DPR-GR ini digunakan, maka rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD tidak akan dipisahkan dari sejarah pembentukannya, terutama dengan pidato 1 Juni Soekarno.

Usaha untuk menyambungkan kembali antara rumusan final Pancasila dengan akar pemikirannya dalam pidato 1 Juni Soekarno inilah, yang dilakukan Basarah. Karena itu, disertasi hukumnya tersebut lalu dibukukan melalui penambahan pemikiran Pancasila dan keislaman Soekarno, menjadi Bung Karno, Islam dan Pancasila (Jakarta: Konstitusi Press, 2017).

Tolok ukur Pancasila

Lalu bagaimana Basarah merumuskan strategi penempatan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU terhadap UUD yang merupakan tugas dari Mahkamah Konstitusi (MK)? Dalam hal ini, Basarah berangkat dari tertib hukum di Indonsia yang menempatkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum.

Dengan demikian, pengujian UU semestinya tidak berhenti pada UUD, akan tetapi harus sampai pada sumber segala sumber hukum, yakni Pancasila.

Dalam kaitan ini, Basarah merumuskan dua langkah bagi ijtihadnya tersebut. Pertama, melalui metode interpretasi prinsipal (principle), yakni metode penafsiran terhadap prinsip yang menjadi dasar dalam pembentukan konstitusi. Ini berarti, pengujian UU terhadap UUD tidak hanya berhenti pada “dua sisi mata pedang”, yakni penafsiran terhadap UU dan UUD, melainkan juga terhadap prinsip-prinsip dasar yang membentuk UUD. Prinsip-prinsip dasar inilah Pancasila.

Dalam kaitan ini, Basarah menyatakan, “Interpretasi dari sebuah konstitusi tertulis harus sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang-orang yang merancang atau merumuskan konstitusi dan prinsip-prinsip yang hidup pada saat itu.” (Basarah, 2017: 118).

Kedua, revisi UU MK untuk menempatkan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU oleh hakim MK. Hal ini dilakukan melalui perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK.

Peraturan yang perlu disempurnakan; pertama, terdapat pada Pasal 21 UU MK yang mengatur sumpah dan janji hakim konstitusi, di mana perlu ditambahkan kewajiban bagi hakim konstitusi agar tidak hanya, “Memegang teguh UUD NRI Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluas-luasnya”, melainkan juga, “Memegang teguh Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluas-luasnya”.

Kedua, penambahan pengaturan dalam UU MK, yakni dengan menambahkan pasal yang mengatur: “Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD NRI 1945 juga menggunakan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara sebagai dasar pengujiannya”. Tambahan pengaturan ini bisa masuk menjadi bagian hukum acara pengujian UU terhadap UUD, yakni pada pasal 49A. (Basarah, 2017: 137-138)

Karena metode pertama, yakni interpretasi prinsipal bersifat hermeunetis, maka timbul persoalan: teks Pancasila yang mana yang harus ditafsirkan? Untuk soal ini, Basarah mengajak kita untuk kembali ke original intent dari Pancasila, yakni pidato 1 Juni 1945 Soekarno.

Hal ini terkait dengan konsepnya tentang Pancasila sebagai norma dasar negara yang tidak berada di Pembukaan UUD, melainkan di wilayah abstrak yang terbentuk di fase historis kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila, sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945. Hanya saja karena gagasan tentang filsafat dasar negara (philosophische grondslag) terdapat pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, maka notulensi pidato tersebut yang menjadi teks dasar negara.

Dalam kerangka ini, Basarah merujuk pada gagasan Prof. Notonagoro pada 19 September 1951 dalam pidato promosi penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum kepada Presiden Soekarno di Universitas Gadjah Mada. Gagasan Notonagoro merujuk pada pemilahan antara dimensi formal dan dimensi material Pancasila.

Dimensi formal adalah Pancasila dasar negara yang rumusannya berbeda-beda dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Sedangkan dimensi material adalah gagasan filsafat dasar negara yang digagas Soekarno pada 1 Juni 1945. Filsafat dasar negara yang digagas Soekarno ini oleh Notonagoro disebut sebagai “asas dan pengertian yang tetap sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia”. (Notonagoro, 1974: 4).

Dalam hal ini, dimensi material yang digagas Soekarno merupakan “isi konseptual” dari dimensi formal Pancasila dasar negara. Sebab jika Pancasila hanya kita pahami sebagai lima nilai yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD, maka kelima nilai tersebut masih bersifat multi-interpretatif.

Padahal lima nilai itu adalah redaksionalisasi dari gagasan filsafat dasar negara oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Tentu, filsafat dasar negara ini lalu direvisi dalam hal sistematika (urut-urutan sila-sila) oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, serta mengalami dialektisasi dalam sidang kedua BPUPK pada 10-17 Juli 1945, sehingga menjadi konsensus bersama pimpinan dan anggota PPKI pada 18 Agustus 1945.

Sebagai dasar negara, Pancasila, meminjam istilah Basarah, merupakan “mahakarya pendiri bangsa”, yang tidak hanya melibatkan peran Soekarno, tetapi juga semua para pendiri bangsa. Meskipun dalam hal gagasan, filsafat dasar negara Pancasila digagas oleh Soekarno pada 1 Juni 1945.

Itulah mengapa dalam ijtihadnya, Dr. Ahmad Basarah menjadikan notulensi pidato 1 Juni Bung Karno, sebagai teks utama bagi interpretasi prinsipal dalam upaya menempatkan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com