KEPALA Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof KH Yudian Wahyudi, PhD memiliki pemikiran keislaman dan Pancasila yang urgen bagi penguatan ideologi negara. Pemikiran Yudian berhasil meleraikan ketegangan antara syariah Islam dengan Pancasila. Sebuah ketegangan yang masih terjadi secara laten, meskipun finalitas Pancasila sebagai dasar negara tidak tergoyahkan.
Berbeda dengan para pemikir Islam dan Pancasila kawakan, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau Prof Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang bersifat generalis, pemikiran Yudian tentang Islam dan Pancasila lebih bersifat teknis. Hal ini disebabkan pendekatannya yang bersifat metodologis, melalui filsafat hukum Islam (ushul fiqh) dengan gagasan utama, yakni tujuan utama syariah (maqashid al-syari’ah).
Baca juga: Apa Fungsi Pancasila bagi Bangsa Indonesia?
Tulisan ini merupakan rangkuman inti dari buku karya penulis sendiri, yakni Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof KH Yudian Wahyudi, PhD yang terbit pada Agustus 2022. Buku ini merupakan kajian terhadap pemikiran keislaman dan Pancasila dari Yudian, terutama berdasarkan pada paparan Yudian tentang Pancasila sebagai Kalimatun Sawa’ di Harvard University tahun 2003.
Letak urgensi pemikiran Yudian Wahyudi adalah pada kemampuannya untuk meleraikan ketegangan antara Islam dan Pancasila yang bersifat historis. Historisitas yang dimaksud adalah ketidakpuasan sebagian tokoh Islam atas rumusan Pancasila resmi, akibat dihapusnya sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dari Pancasila.
Hal ini mengemuka, terutama di sidang Konstituante tahun 1956-1959. Para tokoh Islam bergabung dalam “faksi Islam”, mengusulkan Islam sebagai dasar negara, sebagai alternatif bagi Pancasila. Dalam rangka pengajuan Islam ini, para tokoh tersebut menafikan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat sekular.
Misalnya, pimpinan Masyumi, Mohammad Natsir menyebut Pancasila sebagai ideologi sekular (la diniyyah), karena tidak bersumber dari wahyu. Hal ini membuat nilai-nilai Pancasila tidak memiliki kepastian konseptual, sehingga bisa ditafsiri oleh perspektif apapun. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, menurut Natsir, bukan cerminan dari doktrin Islam, karena sumber dari Pancasila bukan Al Quran.
Natsir lalu menyitir penjelasan Soekarno tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kursus Pancasila pada 26 Mei 1958 yang bersifat antropologis, bukan teologis. Artinya, Soekarno menjelaskan sila ketuhanan Pancasila sebagai cerminan dari tradisi ketuhanan bangsa Indonesia yang menjulur panjang, bahkan hingga ke pra-Hindu-Buddha. Menurut Natsir, ini menandakan bahwa ketuhanan di dalam Pancasila, bukan bagian dari tradisi Islam, tetapi tradisi semua agama, termasuk agama non-monoteis. (Natsir, 2001: 23)
Ketidakpuasan juga dialami para tokoh Islam perumus Piagam Jakarta. Kahar Muzakkir, mantan anggota Panitia Sembilan, yang berpidato di Konstituante menyayangkan penghapusan “tujuh kata” Piagam Jakarta, dan menyatakan bahwa Pancasila telah dikebiri (Natsir, 2001: 95). Artinya, menurut Mudzakkir, semestinya, rumusan Pancasila mengacu pada rumusan Piagam Jakarta dengan sila “ketuhanan bersyariah”. Rumusan ini adalah kesepakatan luhur antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan, demi tercapainya konsensus nasional. Akan tetapi, menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, “tujuh kata” dihapus, sehingga rumusan Pancasila pun dikebiri.
Baca juga: Muhammad Yamin dan Soepomo Tidak Mengusulkan Rumusan Pancasila!
Ketidakpuasan juga dilayangkan oleh penghapus “tujuh kata” itu sendiri, yakni Mr. Kasman Singodimedjo yang berpidato dalam Konstituante tersebut (Natsir, 2001: 234). Pada 18 Agustus 1945 pagi hari, Mr. Kasman, bersama dengan Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Muhammad Hasan terlibat rapat dengan Bung Hatta untuk menghapus “tujuh kata” tersebut. Di Konstituante, Mr. Kasman menyesali hal itu, sehingga menarik dukungan terhadap Pancasila dan menawarkan Islam sebagai penggantinya.
Berbeda dengan ketidakpuasan kelompok Islam dalam Konstituante, Yudian menegaskan bahwa penghapusan “tujuh kata”, tidak berarti penghapusan syariah dari Pancasila. Dalam paparan Islam dan Nasionalisme: Sebuah Pendekatan Maqashid Syariah (2019: 35), Yudian menemukan penggunaan kaidah fikih dalam proses penghapusan “tujuh kata” tersebut. Penggunaan kaidah fikih ini digunakan oleh Kiai Wahid Hasyim yang merupakan tokoh NU dan akrab dengan metode fikih.
Menurut Yudian, penghapusan “tujuh kata” yang merupakan prinsip ketuhanan bersyariah Islam tidak otomatis menghapus syariah Islam dari Pancasila. Mengapa? Karena Kiai Wahid menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggalkan semua).
Artinya, ketika syariah Islam tidak bisa ditegakkan di dalam dasar negara, maka nilai-nilai Islam tidak boleh terhapus sama sekali dari dasar negara. Menurut Yudian, yang terjadi justru sebaliknya: syariah telah diganti dengan prinsip tauhid yang tercermin dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tauhid yang merupakan akidah, ialah sumber dari syariah. Dengan demikian, meskipun redaksi syariah telah dihapus dari Pancasila, namun substansi syariah tetap dijaga oleh akidah tauhid di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembacaan Yudian ini selaras dengan keputusan NU di era Konstituante tersebut. Meskipun pada awalnya para tokoh NU yang mewakili Partai NU mengusulkan Islam sebagai pengganti Pancasila. Akan tetapi, sikap ini kemudian direvisi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengusulkan jalan tengah dalam bentuk rumusan “Pancasila-Islam”. Sebuah rumusan yang mengajukan Pancasila dengan penempatan Piagam Jakarta sebagai “dokumen historis” (bukan dokumen yuridis) yang menjiwai dasar negara nasional tersebut.
Rumusan jalan tengah ini lalu diusulkan oleh Kiai Wahab Hasbullah dalam sidang Konstituante 1959, dan disetujui oleh faksi Islam. Rumusan PBNU ini pula yang diterima oleh Presiden Soekarno sehingga menerbitkan Dekrit Presiden No. 150 tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut ialah instruksi kembali pada UUD 1945 dan Pancasila, dengan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis yang menjiwai UUD dan Pancasila.
Dekrit Presiden 1959 yang terinspirasi dari rumusan “Pancasila-Islam” ala PBNU ini selaras dengan analisa Yudian, bahwa di dalam Pancasila, syariah Islam tetap terjaga. Hal ini disebabkan oleh penegasan Piagam Jakarta sebagai nilai yang menjiwai Pancasila. Inilah yang membuat Indonesia sebenarnya merupakan negara nasional bersyariah Islam, tentu bagi umat Islam. Hal ini membuat segenap upaya untuk mengislamkan Indonesia, dalam bahasa fikih, bersifat “mengadakan sesuatu yang sudah ada” (tahsilul hasil). Artinya, Indonesia sudah Islami dan syar’i; mengapa harus diislamkan dan disyariahkan?