Romo Franz Magnis Suseno (2001) menyatakan bahwa sikap ini sering dikritik karena dianggap sebagai kesediaan menerima segala yang terjadi secara apatis.
Padahal, nrimo menuntut seseorang menerima secara rasional situasi tidak menyenangkan yang dialami, serta tidak melakukan perilaku “pemberontakan” yang percuma (tidak memberi dampak positif).
Nrimo menuntut seseorang menerima apa yang tidak dapat mereka elakkan sekaligus tidak membiarkan diri dihancurkan. Hal ini bukan hal yang mudah dipraktikkan.
Nrimo bukan sesuatu yang apatis. Ada tuntutan akan kekuatan diri untuk menerima hal buruk yang menimpa dan sekaligus mempertahankan diri agar tidak tumbang.
Sikap ini tidak serta merta dimunculkan untuk memupus harapan sejak awal, tetapi untuk menjaga harapan bahwa kelak dikemudian waktu akan datang sesuatu yang lebih baik.
Seseorang yang terlanjur jatuh terpuruk dan hancur berkeping-keping malah dapat dilihat sebagai orang yang terindikasi tidak nrimo.
Nrimo tidak berarti pasrah atau bahkan “kalah”, karena nrimo dilakukan setelah seseorang berusaha dengan penuh daya mengusahakan hal baik.
Nrimo akan selalu relevan di setiap zaman. Setiap zaman akan selalu ada tantangan, perubahan, disrupsi, dan bahkan ketidakpastian, yang sangat mungkin dimaknai tidak menyenangkan, tidak nyaman, mengecewakan dan buruk.
Pada situasi seperti itu nrimo akan membantu setiap orang mempertahankan dirinya agar tidak “jatuh” dengan menerima segala hal yang dialami apa adanya.
Dampaknya kesehatan jiwa dan raga setiap orang akan terjaga dan setiap permasalahan akan mendapatkan pemecahan yang adekuat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.