Sosok perempuan dalam film horor yang direpresentasikan sebagai hantu bertujuan membalas dendam atas ketidakadilan yang mereka terima atas keperempuanan mereka sendiri.
Film horor hampir selalu menampilkan paradoks atas sosok perempuan karena di satu sisi mereka dikonstruksi sebagai korban sedangkan di sisi lain mereka punya sisi monstrous (Priyatna, 2004).
Hal ini menyebabkan plot naratif di banyak film horor memiliki pola terbunuhnya protagonis perempuan (sehingga mereka menjadi korban) lalu kemudian berubah menjadi hantu (menampilkan sisi monstrous).
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Reza Sukma Nugraha mengatakan bahwa representasi perempuan sebagai hantu dalam karya sastra sudah terjadi sejak zaman dulu.
Cerita rakyat atau folklor di Indonesia juga dihiasi dengan cerita hantu perempuan, seperti kuntilanak, sundel bolong, kuyang, dan sebagainya.
"Tapi menjadi makin marak setelah diproduksi secara modern melalui film-film, khususnya pada masa orde baru (orba) sampai sekarang," kata Reza kepad Kompas.com, Sabtu (28/5/2022).
Dalam film horor di Indonesia, hantu identik dengan perempuan yang memiliki latar belakang ketidakadilan semasa hidup, kekerasan seksual, ketimpangan ekonomi, akses kesehatan, hingga masalah sosial lainnya.
Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan kehidupan perempuan.
"Secara tidak langsung itu menunjukkan kalau dalam sistem sosial, perempuan sering kali jadi pihak yang tidak diuntungkan dan tidak berdaya," ujar Reza.
"Umumnya setelah jadi hantu, mereka baru akan balas dendam atau menakuti. Seolah-olah kekuatan perempuan baru akan muncul dan tidak bisa dikalahkan setelah mereka mati," imbuhnya.
Dalam film horor di Indonesia, hantu perempuan biasanya dapat ditaklukkan oleh pemuka agama seperti kyai, ustad, pastor, paranormal yang kebanyakan juga laki-laki. Lagi-lagi setelah mati, perempuan juga tetap kalah di tangan laki-laki.
Selaras dengan Reza, Dosen Sosiolog UNS Akhmad Ramdhon juga berpendapat bahwa hantu di Indonesia yang identik dengan perempuan tidak lepas dari implikasi ketimpangan relasi gender yang menempatkan perempuan sebagai korban.
"Situasi tersebut juga kontekstual dengan kecendrungan narasi film/sinetron yang menjadikan perempuan sebagai obyek dengan image sensual. Keduanya ternyata mempunyai segmen pasar yang luas," jelasnya kepada Kompas.com, Sabtu (28/5/2022).
Baca juga: Ketimpangan Gender hingga Kontestasi Ideologis di Balik Cerita Hantu