CERITA tentang hantu di Indonesia bukanlah hal yang asing di masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penamaan terhadap sosok hantu seperti Pocong, Kuntilanak, Wewe Gombel, Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya itu saja, dalam buku “Hantu dari Suster Ngesot Sampai Sundel Bolong” karya @urbanlejen (2013), setiap daerah bahkan memiliki cerita hantu yang berbeda-beda.
Contohnya Suanggi di Papua, Kuyang di Kalimantan, Ebu Gogo di Flores, Hantu Poppo di Sulawesi, Hantu Nancy di Bandung dan lain-lain.
Dalam konteks budaya populer, berbagai cerita tentang hantu juga banyak diangkat ke dalam film dan genre horor menjadi salah satu yang paling diminati oleh masyarakat.
Mendefinisikan hantu ternyata kompleks dan bukan perihal mudah. Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Risa Permanadeli menyederhanakan definisi hantu ke dalam empat kategori (Kompas 07/11/2021).
Pertama sebagai entitas yang terkait dengan gagasan tentang kematian. Kedua hantu sebagai mitologi seperti Nyi Roro Kidul dalam kebudayaan Jawa.
Ketiga hantu sebagai sisi reflektif yang muncul dalam ‘laku’ dan tapa sebagai godaan seperti dalam Sastra Jawa.
Terkahir adalah hantu yang disebut dalam kitab suci, yaitu jin atau setan.
Tulisan ini tentunya tidak akan (bahkan tidak mungkin) membahas tentang hantu sebagai sebuah fakta atau mitos, melainkan mencoba melihat makna ideologis yang terkandung di balik fenomena sosial dan budaya.
Kita barangkali sering atau paling tidak pernah mendengar cerita tentang hantu-hantu perempuan menakutkan seperti Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan lain sebagainya yang berkembang di masyarakat dari dulu hingga saat ini.
Melalui perspektif budaya, sosok-sosok hantu perempuan ini kerap kali menyiratkan persoalan gender yang terjadi di masyarakat.
Permatasari (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Hantu Perempuan sebagai Produk Gagal dalam dua Film Horor Indonesia: Pengabdi Setan (2017) dan Asih (2018)” berargumen bahwa sosok hantu-hantu perempuan dalam film merupakan representasi ‘produk gagal’ perempuan bagi masyarakat partiarki.
Hantu ibu dalam film Pengabdi Setan adalah subjek perempuan yang secara biologis tidak bisa memiliki anak.
Ia harus rela bersekutu dengan sekte pengabdi setan dengan segala konsekuensinya untuk bisa memiliki anak demi memenuhi keinginan ibu mertuanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.