Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Ketimpangan Gender hingga Kontestasi Ideologis di Balik Cerita Hantu

Kompas.com - 14/12/2021, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CERITA tentang hantu di Indonesia bukanlah hal yang asing di masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penamaan terhadap sosok hantu seperti Pocong, Kuntilanak, Wewe Gombel, Si Manis Jembatan Ancol, Sundel Bolong, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya itu saja, dalam buku “Hantu dari Suster Ngesot Sampai Sundel Bolong” karya @urbanlejen (2013), setiap daerah bahkan memiliki cerita hantu yang berbeda-beda.

Contohnya Suanggi di Papua, Kuyang di Kalimantan, Ebu Gogo di Flores, Hantu Poppo di Sulawesi, Hantu Nancy di Bandung dan lain-lain.

Dalam konteks budaya populer, berbagai cerita tentang hantu juga banyak diangkat ke dalam film dan genre horor menjadi salah satu yang paling diminati oleh masyarakat.

Lalu apa itu hantu?

Mendefinisikan hantu ternyata kompleks dan bukan perihal mudah. Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Risa Permanadeli menyederhanakan definisi hantu ke dalam empat kategori (Kompas 07/11/2021).

Pertama sebagai entitas yang terkait dengan gagasan tentang kematian. Kedua hantu sebagai mitologi seperti Nyi Roro Kidul dalam kebudayaan Jawa.

Ketiga hantu sebagai sisi reflektif yang muncul dalam ‘laku’ dan tapa sebagai godaan seperti dalam Sastra Jawa.

Terkahir adalah hantu yang disebut dalam kitab suci, yaitu jin atau setan.

Tulisan ini tentunya tidak akan (bahkan tidak mungkin) membahas tentang hantu sebagai sebuah fakta atau mitos, melainkan mencoba melihat makna ideologis yang terkandung di balik fenomena sosial dan budaya.

Hantu perempuan dan ketimpangan gender

Kita barangkali sering atau paling tidak pernah mendengar cerita tentang hantu-hantu perempuan menakutkan seperti Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan lain sebagainya yang berkembang di masyarakat dari dulu hingga saat ini.

Melalui perspektif budaya, sosok-sosok hantu perempuan ini kerap kali menyiratkan persoalan gender yang terjadi di masyarakat.

Permatasari (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Hantu Perempuan sebagai Produk Gagal dalam dua Film Horor Indonesia: Pengabdi Setan (2017) dan Asih (2018)” berargumen bahwa sosok hantu-hantu perempuan dalam film merupakan representasi ‘produk gagal’ perempuan bagi masyarakat partiarki.

Hantu ibu dalam film Pengabdi Setan adalah subjek perempuan yang secara biologis tidak bisa memiliki anak.

Ia harus rela bersekutu dengan sekte pengabdi setan dengan segala konsekuensinya untuk bisa memiliki anak demi memenuhi keinginan ibu mertuanya.

Sementara hantu perempuan dalam film Asih merupakan representasi dari subjek perempuan yang ‘gagal’ karena ia hamil di luar nikah.

Sebagai konsekuensinya, ia mendapatkan sanski sosial karena dianggap ‘sampah’ sosial hingga ia bunuh diri dan menjadi hantu.

Dalam konteks Indonesia yang kental dengan ideologi patriarki, konsep perempuan ‘sejati’ kerap disematkan dalam sosok ibu (Suryakusuma, 2011) yang kerap dikaitkan dengan ‘kodrat’ perempuan ‘sempurna’ (Blackburn, 2004).

Selain itu, virginitas dan konsep pernikahan yang sah secara agama dan negara dilihat sebagai hal yang bersifat sakral dan tidak boleh dilanggar, khususnya oleh kaum perempuan jika tidak ingin diberikan label negatif oleh masyarakat.

Oleh karena itu, melalui dua representasi sosok hantu perempuan dalam film di atas, kita dapat melihat kegagalan subjek perempuan memenuhi harapan-harapan sosial yang diidealkan oleh masyarakat partiarkal.

Terkait dengan ini, sineas asal Amerika Will Wright dalam tulisannya Understanding Genres: The Horror Films mengatakan bahwa secara umum salah satu konvensi yang harus dipenuhi dalam produksi film horor adalah menampilkan tokoh hantu ‘jahat’.

Sosok itu merupakan tokoh yang teralienasi atau tereksklusi secara sosial.

Merujuk pada pernyataan Wright, kita dapat menggunakan sosok hantu lokal, Si Manis Jembatan Ancol yang mati akibat diperkosa dan dibunuh sampai akhirnya ia menjadi hantu penasaran.

Hantu ini secara tidak langsung menegaskan posisi dilematis perempuan dalam masyarakat. Di satu sisi perempuan wajib menjaga virginitas yang dipersepsikan sebagai ‘harga diri’.

Namun di sisi lain sosok hantu ini mengingatkan kita pada maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai korban, namun potensial dibebani sanksi sosial karena statusnya yang sudah tidak ‘virgin’ lagi.

Dengan kata lain, Hantu Si Manis Jembatan Ancol ini akan menghadapi pilihan yang dilematis.

Artinya ia mati dan menjadi hantu gentayangan yang menghantui manusia untuk menuntut keadilan.

Namun sekalipun hidup, ia akan mendapatkan stigma negatif yang tidak mudah baginya karena pernah menjadi korban perkosaan.

Dari pembacaan ini, kita bisa melihat bagaimana sosok hantu perempuan menyiratkan persoalan ketimpangan gender yang kerap menempatkan posisi perempuan sebagai ‘korban’.

Politisasi cerita hantu

Di samping itu, cerita-cerita tentang hantu juga bisa dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tragis yang melekat dalam ingatan sosial dan sarat dengan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan.

Profesor Antropologi dan Komunikasi University of Southern California, Tok Thompson, mengatakan bahwa hantu umumnya ‘menghantui’ untuk alasan tertentu dan umumnya terkait dengan persoalan kegagalan etis seperti tragedi, bunuh diri, misteri yang tidak terpecahkan, dan lain-lain (BBC 09/11/2018).

Thomposon melihat bahwa alasan mereka ‘menghantui’ tidak bisa dilepaskan dari ihwal pencarian keadilan yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat.

Ia mencontohkan sosok hantu yang kerap dijumpai masyarakat Amerika umumnya berwujud budak Afrika-Amerika dan penduduk indigenous Amerika yang mati dibunuh.

Hal ini mengingatkan kita tentang cerita-cerita hantu yang muncul di lokasi-lokasi penjagalan tragedi 1965.

Secara tidak langsung, selain mengingatkan kita terhadap genosida massal dalam sejarah bangsa Indonesia, cerita-cerita hantu gentayangan di tempat tersebut seolah meminta penjelasan atas pembunuhan mereka.

Di sisi lain, cerita hantu yang berkembang di masyarakat dan direpresentasikan di dalam produk budaya populer seperti film juga dapat dimaknai sebagai pelanggengan kekuasaan dan kontestasi ideologis.

Katinka van Heeren (2007) dalam artikelnya Return of the Kyai: representations of horror, commerce, and censorship in post?Suharto Indonesian film and television berargumen bahwa film-film horor Indonesia yang sarat dengan cerita hantu merupakan representasi atau simbol dari pemberontakan dan perlawanan terhadap ideologi dominan.

Heeren menjelaskan bahwa dibandingkan hantu-hantu dari Barat yang muncul karena pergulatan emosi, cerita hantu Indonesia bersifat politis dan diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Misalnya narasi hantu tragedi 1965 yang sengaja dibuat oleh rezim penguasa untuk mencegah upaya penyelidikan dan pengungkapan (Nils Bundbandt, 2012).

Sementara itu, kontestasi ideologis juga dapat dilihat dari narasi hantu seperti Kuyang di Kalimantan, Leak di Bali, Ebu Gogo di Flores, Hantu Poppo di Sulawesi.

Karena hantu-hantu tersebut dianggap terkait dengan tradisi ilmu hitam yang bertentangan dengan norma agama mayoritas, banyak film-film bertema hantu di Indonesia kerap menghadirkan tokoh agama.

Tokoh itu dikatakan Will Wright sebagai subjek yang menyelesaikan masalah dan ‘menertibkan’ apa yang dianggap melenceng dari 'kebenaran’.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com