“Sebenarnya ini sebuah simbol, tidak tentang perempuan saja, bahwa masa penjelajahan
samudera memang ada figur perempuan-perempuan perkasa saat Nusantara dieksploitasi oleh bangsa asing”.
“Semisal sosok ksatria Inong Balee, Laksamana Malahayati (Aceh) hadir, tatkala kongsi dagang
Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) bersaing dengan kongsi dagang Inggeris
(East India Company/EIC) memunculkan pergolakan berdarah.
Perang total terjadi abad itu, di sejumlah kerajaan Nusantara seperti Aceh, Madura dan Banten”.
“Rempah-rempah terutama buah pala menjadi primadona dunia untuk elemen obat dan
makanan di Eropa—yang mengakibatkan pembantaian 15.000 etnik Banda di Batavia”.
Tita merekonstruksi tiga buah perahu perang dengan patung sosok berjubah buah pala berbalut emas, yang di masa itu, perahu-perahu cadik sangat bisa menandingi kecanggihan perahu- perahu raksasa para penjelajah bangsa Eropa.
Dyan Anggraeni bercerita lain, memilih mempresentasikan karya-karya mewakilkan ”jalan
pedang perempuan lembut”—dalam hal ini ingin bertutur banyak tentang pengalaman dirinya
beririsan juga dengan yang komunal.
Dengan bahasa perlambangan bermakna upaya untuk perempuan untuk selalu mandiri.
Patung-patung kaki perempuan terlihat dicoret-coret teks- teks tertentu. Menjadi penanda, perempuan harus tengadah, berjalan dengan kaki kokoh, juga lukisan-lukisan sosok bertopeng misterius gambaran tentang profesinya sebagai birokrat di masa lalu.
Sementara itu, Dolorosa, seniman sekaligus aktivis ini mengajak kita berefleksi dengan sejumlah patungnya tentang kerapuhan diri (fana), kematian dan kegetiran peristiwa-peristiwa
tragik pada sejarah tahun 1965.
Manusia-manusia terkulai dalam liang lahat—separuh liang kubur dan buku memori, atau
sedang terpekur di hadapan tubuh kuburnya.
Dolo menggambarkan manusia-manusia penguasa politik saat ini menampik ingat, bagi sebagian keluarga korban dan Dolo sendiri sepertinya mereka (penguasa-penguasa itu) menolak takdir.
Karya itu, seraya menggugat yang sudah terjadi namun sia-sia menyanyat benak; dan berserah diri mungkin terlukiskan di sana?
Samar-samar wajah Tuhan terselip dalam ekspresi gestur tubuh patung, selain gugatan atas sejarah kelam.
Selanjutnya kita bisa menyaksikan karya seniman senior lainnya, Arahmaiani dengan video tentang performannya selain proyek lamanya tentang bendera berimej huruf tertentu.
Mengaitkannya pada ke-Indonesiaan, komuntas-komunitas tertentu dan lingkungan hidup.
“Saya selalu ada interaksi dengan komunitas-komunitas, orang-orang dengan kultur dan
kearifan-kearifan lokal beragam untuk memahami keberbedaan. Pelajaran yang saya bawa
di berbagai tempat di dunia untuk mengembalikan betapa kaya pluralitas etnik negeri ini
sekaligus sebenarnya itu ancaman laten untuk selalu waspada,” ujarnya pada penulis.
Selama di Tibet, seperti terlihat di video, Arahmaiani berkolaborasi dengan sejumlah biksu di
vihara dan penduduk setempat.
“Saya memamerkan juga pesan-pesan; tentang bagaimana seni bisa memberi kesepahaman
di luar lingkar kekuasaan dan politik. Instalasi bendera-bendera itu berujar kemajemukan dan
kesetaraan dengan cara yang indah, seperti yang saya bawa dari imej aksara Tibet, Bali, Jawa
dan Lombok.”
“Saya selalu terinspirasi pada ikon seniman Jerman Joseph Beuys; bahwa seni memberi
kekuatan yang non materill, sumbangsih moral untuk berbuat lebih nyata di dunia sosial”
imbuhnya.
Kita sekarang menjumpai karya Indah Arsjad. Ia menggunakan ruang gelap di dalam galeri,
dengan teknik animasi digital juga penggunaan rekam kamera mikrokospis di sebuah video.
Indah bernarasi tentang keprihatian ancaman menipisnya oksigen di bumi sebab ulah manusia.
“Karya berangkat dari pengalaman personal terkena covid pada 2020. Paru-paru ada masalah
berat, perlu oksigen pada masa perawatan. Saya memutuskan mengobservasi dan membangun
konsep.”