Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Akademisi

Platform publikasi karya akademik dari akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk khalayak luas demi Indonesia yang semakin maju.

Peristiwa Pengeroyokan Ade Armando dan Belajar Bijak Bermedia Sosial

Kompas.com - 12/04/2022, 18:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bisa membedakan konten positif dan negatif di dunia maya menjadi hal penting lain. Konten positif tentunya adalah konten yang wajib diunggah karena memiliki kebermanfaatan pada orang lain. Konten positif menghindarkan pengguna dari jeratan hukum UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Mari menengok pengalaman di Indonesia, UU ITE ini sudah menjerat beberapa pihak karena memproduksi konten negatif di dunia maya.

Netizen perlu menyadari juga bahwa di dunia maya mereka berinteraksi dengan siapapun. Netizen pun tidak akan paham jejak digitalnya akan sampai ke tangan siapa. Jejak digital inilah yang perlu diwaspadai dan dipikirkan matang-matang oleh netizen pembuat konten. Bisa saja, konten yang diproduksi dimanfaatkan oknum tidak bertanggungjawab untuk menjatuhkan orang lain.

Naluri jurnalistik menjadi kunci

Penulis memiliki riset sederhana tentang bagaimana seorang content creator menerapkan etika digital. Kita tahu bahwa content creator saat ini tengah diminati karena menggiurkan secara penghasilan. Berdasar riset sederhana ini, beberapa responden, yakni content creator mengaku tidak memahami definisi etika digital dan bentuknya.

Mereka yang kategorinya generasi milineal itu mengaku baru belajar etika ketika kontennya diperingatkan. Uniknya lagi, justru yang terpenting adalah konten menarik terlebih dulu ketimbang konten positif dan bermanfaat.

Berdasar riset itu, penulis berasumsi bahwa etika digital masih jauh dari praktik pembuat konten. Kemampuan untuk mengevaluasi konten yang diunggah sepertinya terjadi setelah mereka jera pada sanksi yang diberikan. Kalau tidak ada sanksi, ada kecenderungan konten yang dihasilkan hanya memenuhi unsur menarik saja, dan tentunya bisa konten negatif juga.

Dalam perspektif jurnalistik, content creator ini adalah jurnalis warga yang memproduksi konten dan membagikan kontennya di dunia digital. Content creator bisa siapapun. Mereka tak hanya memiliki misi menyebarkan informasi, tetapi juga bisa berfungsi untuk mendidik, memobilisasi, mentransfer nilai-nilai budaya, hingga menghibur.

Bagi penulis, nalar jurnalistik meski bisa dijalankan oleh semua content creator. Nalar jurnalistik berkaitan dengan bagaimana kita sebagai jurnalis warga bisa memberikan informasi yang menyejahterakan masyarakat bersama.

Tentunya dalam memberikan informasi perlu dibarengi kode etik, seperti tidak mengandung hoaks, harus akurat, harus benar, harus menghormati privasi orang lain, tidak merendahkan martabat orang lain, dan menyamarkan luka korban. Anda bisa cek di Kode Etik Jurnalistik yang tentunya sangat relevan untuk dijalankan para content creator.

Proses seleksi konten juga menjadi bagian dalam kerja jurnalistik. Tentu saja, hal ini juga bisa diterapkancontent creator. Melihat kembali apa urgensi dari konten yang diunggah, pentingnya apa bagi netizen lain, hingga dampaknya, harus terus dipraktikkan. Alhasil, tak hanya konten menarik saja, tetapi harus relevan bagi kehidupan publik.

Hal terakhir yang paling penting adalah hati nurani. Dalam kerja jurnalistik, hati nurani harus selalu dikedepankan. Dengan kepekaan hati nurani, jurnalis memiliki tanggung jawab moral pada publiknya. Tentunya, para content creator juga diharapkan bisa mengedepankan tanggung jawab moral dalam memproduksi kontennya.

Nalar jurnalistik mungkin saja bisa membantu para content creator untuk lebih bijak menggunakan media sosial. Dengan demikian, kita berharap dalam riset Microsoft soal kesopanan netizen Indonesia akan berubah di tahun-tahun mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com