Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangsa yang baru lahir, Republik Indonesia, harus menghadapi berbagai tantangan fisik internal dan eksternal, yaitu kembalinya pasukan Belanda (1947 dan 1949) dan sejumlah pemberontakan.
Sebagai negara baru yang memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan fisik, Indonesia harus menghadapi perang saudara pada tahun-tahun pertamanya.
Setiap kelompok mengklaim bagian yang lebih besar dalam gerakan kemerdekaan dan memandang rendah kelompok lain. Kontribusi etnis Tionghoa, bagaimanapun, ditolak karena mereka tidak terlibat secara aktif dalam
gerakan kemerdekaan.
Menyadari pentingnya penyelesaian masalah Tionghoa, maka Badan Pemusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan pada tahun 1954 dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan etnis Tionghoa dengan secara aktif mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Meski bukan partai politik, Baperki pernah mengikuti pemilihan umum pertama tahun 1955. Sangat disayangkan Baperki sedikit demi sedikit bergeser ke kiri seiring dengan perubahan iklim politik, dan akhirnya dibubarkan terkait kudeta komunis
pada 30 September 1965.
Fakta bahwa Baperki tidak dapat membawa kerukunan nasional (ditunjukkan dengan banyaknya kerusuhan anti-China), dan untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari Undang-Undang Kewarganegaraan Ganda dan Peraturan Pemerintah No.10, LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa / Badan Rekonsiliasi Nasional) ) didirikan pada tahun 1963 dengan tujuan yang sama seperti badan-badan sebelumnya tetapi dengan pendekatan yang berbeda.
Menurut kelompok ini, cara yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan Etnis Tionghoa adalah dengan asimilasi dalam bentuk perkawinan campuran, penggunaan nama Indonesia atau memeluk agama mayoritas.
Ketegangan antara LPKB dan Baperki atas pendekatan mereka yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama semakin memburuk hingga organisasi yang terakhir dibubarkan.